3,5 Tahun Penyintas di Huntara Tidak Baik-baik Saja

34 dilihat

Ditulis oleh

Pemerintah belum kunjung menyelesaikan pembangunan hunian tetap untuk penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, setelah 3,5 tahun bencana.

Sebagian penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulawesi Tengah, masih tinggal di hunian sementara setelah 3,5 tahun bencana berlalu. Mereka dipaksa menjalani kehidupan ”normal baru” yang sekian lama karena lambannya pemerintah menyediakan hunian tetap layak.

Diana (58) bangun dengan sedikit kaget dari tidur lelapnya saat disapa. Ia buru-buru membetulkan rambut dan pakaian. Ia melepas lelah di atas kasur spons tipis dengan alas papan di bawah pohon jawa dari pukul 13.30 hingga 14.45 Wita, Senin (21/3/2022). Angin sepoi meninabobokannya.

Ia beristirahat sejenak sepulang mengajar di sekolah Kabupaten Sigi yang berjarak 15 kilometer dari kompleks hunian sementara (huntara) yang ditempatinya di Hutan Kota, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng.

Jika matahari terik, seperti pada Senin, guru itu tak bisa istirahat di dalam bilik huntara. Dengan ruangan berukuran sekitar 3 meter x 4 meter ditambah jarak lantai tak lebih dari 3 meter dengan atap, panas menyengat.

”Kalau tidak mendung, saya pasti istirahat siang di luar ruangan. Lebih adem. Di dalam panas sekali,” ujarnya.

Diana yang menempati satu bilik huntara bersama satu anak dan satu cucunya sudah tiga tahun melewati situasi tersebut. Mereka masuk ke huntara pada awal Maret 2019 setelah sekitar lima bulan tinggal di tenda darurat di sekitar gedung olahraga yang berjarak 200 meter dari kompleks huntara. Dihitung dari menempati tenda darurat sesaat setelah gempa, tsunami, dan likuefaksi, Diana sudah 3,5 tahun tinggal di huntara.

Penghuni hunian sementara bersantai di depan bilik di kompleks huntara Kelurahan Mamboro Induk, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulteng, Selasa (24/9/2019). Huntara ditempati penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi sambil menunggu selesainya pembangunan hunian tetap. (Videlis Jemali/Kompas)

Huntara berupa bangunan berpanggung menggunakan papan lapis untuk lantai dan dinding atau sekat antarbilik. Sebagian besar papan lantai sudah bolong atau jebol. Penghuni atau penyintas menambal papan yang bolong itu dengan papan lapis yang mereka beli agar tak membahayakan penghuni, terutama anak-anak.

Sejumlah fasilitas, seperti kamar mandi, kamar kecil, dan dapur, digunakan secara bersama-sama (komunal) di huntara. Satu unit huntara (12 bilik) memiliki masing-masing empat kamar mandi dan kamar kecil serta satu dapur.

Di kompleks huntara Hutan Kota yang ditempati sekitar 110 keluarga penyintas tsunami Pantai Lere, seperti Diana, setiap keluarga dikutip Rp 15.000 per bulan untuk operasional air. Air tersedia dari sumur suntik yang mengandalkan listrik.

”Agar tidak terlalu memberatkan, ada petugas yang mengatur air tidak keluar setiap hari. Kami sesuaikan kebutuhan dengan kondisi itu. Jika air keluar setiap hari setoran bisa lebih dari Rp 15.000,” kata Diana.

Selain di kompleks Hutan Kota, huntara lainnya yang masih ditempati sekitar 500 keluarga penyintas ada di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Penghuni huntara nerupakan penyintas gempa dan likuefaksi Petobo. Kondisi huntara hampir sama dengan yang ada di Hutan Kota.

Tiga tahun lebih di hunian sementara dengan segala keterbatasan jangan dianggap normal. Kami ingin tinggal di tempat yang layak. (Diana)

Sekitar 75 keluarga penyintas lainnya terpaksa membangun pondok atau memperbaiki lagi rumah mereka yang rusak dihantam tsunami lalu di pinggir Pantai Lere, Kecamatan Palu Barat, karena huntara mereka telah dibongkar. Kontrak huntara berakhir pada 2021.

Puing dan bekas bangunan terlihat di bekas likuefaksi Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulteng, Minggu (24/3/2019). (Videlis Jelami/Kompas)

Huntara merupakan ”persinggahan” menuju hunian tetap (huntap) yang dibangun pemerintah. Huntap bagian dari program rekonstruksi dan rehabilititasi pascagempa untuk penyintas yang lokasi rumah lamanya ditetapkan terlarang untuk pembangunan hunian baru. Itu meliputi bekas tsunami, likuefaksi, dan sempadan Sesar Palu Koro.

Pemerintah telah membangun total 11.000 huntap di tiga daerah yang terdampak bencana. Sebagian besar huntap sudah dibanguan dan ditempati yang, antara ,lain tersebar di Palu, Sigi, dan Donggala. Dua titik di Palu itu ada di Kelurahan Tondo yang disebut Huntap Tondo I dan Kelurahan Duyu.

Targetnya dulu, semua huntap selesai pada akhir 2020. Hingga akhir Februari 2022 atau 3,5 tahun setelah bencana, ternyata masih dibutuhkan 3.000 huntap yang sekitar 2.500 unitnya dibangun di Palu.

Diana termasuk penyintas yang belum terpenuhi haknya atas huntap yang dijanjikan tersebut. Diana dan keluarganya selamat dari gempa bermagnitudo 7,4 diikuti tsunami dan likuefaksi yang melanda Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi pada 28 September 2018. Bencana tersebut menewaskan sedikitnya 4.000 orang dengan kerusakan sekitar 110.000 rumah.

Bencana itu menjadi perhatian di tingkat nasional, bahkan dunia. Perlakuan terhadap penyintas dijanjikan yang terbaik. Diana pun tak menyangka ia bakal tinggal sampai 3,5 tahun di huntara.

”Kami minta segera bangun itu huntap. Tiga tahun lebih di hunian sementara dengan segala keterbatasan jangan dianggap normal. Kami ingin tinggal di tempat yang layak,” kata guru pegawai negeri sipil itu.

Sebagian besar huntap yang belum dibangun tersebut terkendala masalah sengketa atau klaim lahan di Kelurahan Tondo (Huntap Tondo II), Kelurahan Talise, dan Kelurahan Petobo. Masalah mencuat sejak awal 2021. Sejumlah warga mengklaim lahan yang akan dibangunkan huntap. Padahal, lahan tersebut bekas hak guna bangunan (HGB).

Pada awal 2021, lahan sudah dibersihkan dan diratakan sampai sudah dibentuk tapak rumah. Pekerjaan dihentikan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Saat ini, lahan tersebut sudah ditumbuhi rumput liar karena tak ada aktivitas apa pun selama setahun.

Tampak hamparan lahan yang pada awal 2021 sudah dipersiapkan untuk pembangunan hunian tetap penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Senin (21/3/2022). Lahan tersebut “nganggur” selama setahun belakangan sehingga rumput liar tumbuh di mana-mana. (Videlis Jemali/Kompas)

Sejak awal tahun lalu, Pemerintah Kota Palu bersama pemangku kepentingan berusaha menyelesaikan masalah klaim warga tersebut. Pemerintah Kota Palu menjanjikan untuk beres pada Juni 2021, tetapi ternyata belum juga sehingga Bank Dunia yang memberikan pinjaman untuk pembangunan huntap belum menyetujui pembangunan huntap karena masih adanya masalah sosial. Bank Dunia mensyaratkan tak boleh ada masalah sosial untuk pemanfaatan kredit tersebut.

Terakhir, Wakil Presiden Ma’ruf Amin berkunjung ke Palu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Waktu itu, Wapres memberi kesempatan kepada Pemerintah Kota Palu untuk menyelesaikan masalah lahan pada akhir Februari.

Diana heran pemerintah dan para pemangku kepentingan yang mengurus huntap tak kunjung menyelesaikan masalah yang muncul.

”Kami minta pemerintah bergerak dan tegas. Mestinya masalah huntap ini sudah selesai,” ujarnya sembari menambahkan, jelang Pilkada Kota Palu 2019 hampir setiap malam banyak orang datang untuk bersilaturahmi dengan penyintas yang saat ini tak pernah muncul lagi.

Taufik (41), yang menempati huntara di Petobo, menaruh harapan besar pada informasi terakhir yang menyebutkan pembangunan huntap dimulai April-Mei 2022. Ia mendengar informasi atau janji tersebut dalam silaturahmi yang digelar pejabat dari lingkup Pemerintah Kota Palu, akhir Februari.

”Tolong jangan ditunda-tunda lagi, tepati itu,” katanya.

Kegundahan juga menyelimuti Sri (43), penyintas tsunami di Kelurahan Lere. Ia yang baru saja pindah dari kompleks huntara kembali ke bekas rumah tersapu tsunami dengan sejumlah perbaikan, bingung jika memikirkan huntap. Sri dan sekitar 75 keluarga lainnya pernah diinformasikan akan dibangunkan huntap tak jauh dari pantai (huntap satelit). Namun, hingga saat ini tak ada perkembangan lanjutan.

”Sampai berapa banyak janji lagi baru jadi itu huntap,” katanya.

Wali Kota Palu Hadianto Rasyid, Kamis (17/3/2022), menyampaikan masalah lahan untuk pembangunan huntap di Tondo dan Talise sudah selesai. Pihaknya segera melaporkan hal tersebut ke pemerintah pusat dan Bank Dunia. Warga yang mengklaim lahan huntap diakomodasi dalam skema konsolidasi lahan (pembagian lahan untuk warga) yang akan diusulkan ke pemerintah pusat. Obyek konsolidasi lahan itu di luar lokasi huntap.

Ia menuturkan, pada April 2022, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang membangun huntap bisa menggelar lelang.

”Lamanya pembangunan huntap dengan penataan di dalamnya sekitar enam bulan. Artinya, paling lambat huntap selesai pada Oktober 2022,” katanya.

Indah (40) duduk di depan hunian tetapnya di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulteng, Selasa (28/9/2021). Indah merupakan penyintas likuefaksi yang berhak mendapatkan hunian tetap karena lokasi rumah lamanya ditetapkan sebagai zona merah yang artinya dilarang untuk pembangunan hunian baru. (Videlis Jemali/Kompas)

Untuk huntap di Kelurahan Petobo, lanjut Hadianto, masalah lahannya sementara diselesaikan. Awalnya, pemerintah menggunakan skema pembebasan lahan (jual-beli) karena sejumlah lahan dimiliki perorangan. Namun, setelah diteliti bersama dengan Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kota Palu, ternyata masalah itu bisa diselesaikan dengan skema lain, yakni konsolidasi lahan.

Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayan Sulteng Sabahudin menyatakan, lelang dan selanjutnya pembangunan huntap dilakukan bergantung pada cepat atau lambatnya persetujuan dari Bank Dunia. Kalau persetujuan dari Bank Dunia sudah ada, lelang dan tahap selanjutnya pembangunan huntap langsung digelar.

Janji pemerintah kali ini seharusnya yang terakhir. Penyintas hidup di huntara selama 3,5 tahun bukan sesuatu yang normal-normal saja di tengah begitu banyaknya target atau janji yang telah diumbar.

 

Sumber: Kompas

Tinggalkan Komentar