Cerita Nelayan Lere yang Menolak Relokasi

175 dilihat

Ditulis oleh

PALU – Siang itu matahari cukup terik. Buih putih ombak menyembul di antara biru lautan. Di bibir pantai, beberapa perahu berjejer rapi, sesekali bergerak tertiup angin. Seorang nelayan paruh baya, menggunakan topi caping di kepalanya, turun dari perahu, menenteng jala berisi ikan.

50 meter dari bibir pantai, di bawah teduh sebatang pohon ketapang, tiga orang nelayan tengah asyik bercengkerama. Tidak jauh di samping mereka, beberapa pemuda asyik meneguk es kelapa muda yang dihidangkan penjual es kelapa muda, tepat di depan reruntuhan sebuah hotel berbintang empat di Jalan Cumi-cumi tersebut.

“Tiga malam lalu sudah datang ahli dari ITB yang didampingi pak lurah, menjelaskan soal pembangunan tanggul. Rencananya ada dermaga yang mau dibuat. Bagus itu, tapi manusianya ini bagaimana. Dermaga ini diperbaiki untuk mata pencaharian nelayan, sementara nelayannya ini tidak pasti kemana arahnya,” ujar seorang lelaki paruh baya mengenakan kaos berkerah berwarna merah, dengan celana jins yang dipotong selutut. Lelaki paruh baya ini, menggerutu sambil menyalakan rokok di tangannya.

Syakir nama lelaki tersebut. Pria berusia 62 tahun ini merupakan Ketua RT 4 Kelurahan Lere. Dirinya bersama 224 warga lainnya mendiami hunian sementara (huntara) di Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat.

Sebelum bencana, Syakir bersama keluarga dan ratusan warga Lere lainnya yang terdampak tsunami, tinggal di Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere. Bencana tsunami menyapu bersih rumah dan harta benda, serta sebagian anggota keluarga mereka. Puing-puing reruntuhan rumah tersebut, kini hanya mereka tandai dengan sebilah kayu dan papan yang ditulisi nama mereka masing-masing.

Kabar pembangunan tanggul tersebut bagi Syakir adalah sebuah kabar baik, karena mereka akan dibuatkan dermaga untuk tempat melabuhkan perahu. Ironisnya, kabar bahagia ini, tidak berbanding lurus dengan kepastian lokasi tempat tinggal tetap mereka nanti.

“Beberapa minggu lalu sudah dibagikan formulir kesediaan direlokasi atau menolak. Sebagian penghuni huntara ini sudah tanda tangan. Saya dan beberapa warga lain masih pikir-pikir, karena lokasi relokasinya jauh di Tondo. Rencananya lahan kami di sini akan ditukarguling dengan hunian tetap di sana,” keluh Syakir.  Menurut Syakir ada sekitar 41 warga yang belum menandatangani formulir kesediaan direlokasi tersebut. Aksesbilitas dan jarak tempuh yang cukup jauh dengan tempat mereka mencari nafkah, mencuatkan keraguan dalam batin mereka.

“Kalau terlalu jauh begini, kasihan juga warga. Ongkos bensin kesana-kemari, belum lagi uang sekolah anak-anak, mana lagi hasil tangkapan tidak tentu,” ujarnya, Kamis (26/9/2019).

Syakir sangat mengharapkan, Pemerintah Kota Palu dapat mencarikan solusi lainnya bagi warga yang menolak direlokasi. Dirinya mencontohkan, misalnya dengan mencarikan lokasi relokasi yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka melaut.

“Kalau tinggal dekat sini (pantai red.), misalnya kita kehabisan bumbu dapur dan tidak punya uang, kita masih bisa melaut sebentar cari ikan lalu dijual untuk membeli bumbu dapur. Tapi kalau pindah di sana (Tondo red.), mau melaut harus tempuh perjalanan kira-kira 5 kilometer, baru sampai ke Lere,” ujarnya.

Salah seorang nelayan menenteng jala berisi ikan hasil tangkapannya, di pesisir pantai Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kamis (26/9/2019). FOTO: FATHUL WAHAB

Selain kesulitan beradaptasi kata Syakir, relokasi ini juga berpotensi mengubah mata pencaharian warga. Menurut dia, akibat hasil tangkapan yang tidak menentu, sebagian nelayan terpaksa mencari alternatif pekerjaan lain seperti menjadi buruh bangunan dan pekerjaan serabutan lainnya.

“Yang siksa itu ya teman-teman yang tidak punya keahlian lain selain melaut,” keluhnya.

Pemerintah Harus Mengerti Psikologi Penyintas

Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Palu, Rizal Dg Sewang, Kamis (26/9/2019) mengatakan, dari sini bisa dilihat bahwa antara keinginan pemerintah dan masyarakat harus dijembatani dan dicarikan solusi bersama. Pemerintah kata dia, harus memperhatikan kebutuhan penyintas dari segala aspek, yakni papan, sandang, dan pangan.

“Kalaupun mereka direlokasi, hendaknya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari laut, yang dapat mereka akses dengan mudah untuk mata pencaharian mereka sehari-hari. Jangan hanya diperhatikan soal tempat tinggal, tapi bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan sehari-hari di tempat tinggal yang baru. Biarkan mereka berikhtiar untuk mata pencaharian mereka, kalau mereka hanya bisa jadi nelayan, mungkin bisa dicarikan lokasi yang tidak jauh dari lokasi mata pencaharian mereka.

Rizal mencontohkan, mungkin pemerintah bisa mendata inventaris lahan mereka yang berada di dekat lokasi mata pencaharian para nelayan, yang tidak masuk zona merah dan memnuhi unsure keselamatan lainnya.

Menurut Rizal, alasan sebagian warga yang berprofesi sebagai nelayan menolak direlokasi ke lokasi huntap, cukup rasional dan manusiawi. Pemerintah kata dia, harus mengerti psikologis masyarakat, juga terkait jarak tempuh dan tambahan biaya yang harus mereka keluarkan, jika kemudian pindah ke lokasi huntap. Kata dia, penghasilan mereka sehari-hari sebagai nelayan saja, kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kecuali jika pemerintah memberikan semacam program untuk percepatan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat yang direlokasi ke huntap, mungkin respon masyarakat yang menolak relokasi akan berubah. Ketika aspek ini disentuh, mereka mungkin akan cepat melupakan trauma dan perlahan bangkit secara finansial, serta tidak hanya mengandalkan hasil melaut saja. Harus ada program pembangunan ekonomi masyarakat dari pemerintah untuk penyintas,” jelas politisi PKS tersebut.

Sementara itu, Wali Kota Palu, Hidayat, usai upacara peringatan HUT Kota Palu, Jumat (27/9/2019) mengatakan, tidak ada lokasi yang dimiliki Pemerintah Kota Palu di sekitar lokasi pantai, yang masuk dalam kategori aman. Jika nelayan meminta direlokasi ke lokasi yang aman di sekitar pantai kata dia, pihak Pemkot kesulitan mencarikan lahan.

Menurutnya, lokasi relokasi di Tondo-Talise dianggap aksesnya cukup terjangkau bagi masyarakat nelayan di Kelurahan Lere. Dirinya meminta untuk menyapaikan kepada masyarakat   ***

Tinggalkan Komentar