Dugaaan Konspirasi Dibalik Jeritan Pengungsi Pasigala

138 dilihat

Ditulis oleh

Tak terasa sudah 29 bulan tragedi gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala (Pasigala) Provinsi Sulawesi Tengah ( Sulteng), dihitung sejak bencana terjadi pada 28 September 2018.

Bencana meninggalkan duka yang dalam bagi warga yang kehilangan tempat tinggal. Kehilangan pekerjaan, kehilangan harta benda ditambah lagi dengan pandemi Covid-19 semakin menambah duka bagi para penyintas yang sampai detik ini masih ribuan orang tinggal di hunian sementara (huntara) dan banyak pula yang masih menumpang tinggal di rumah keluarganya.

Seperti yang dialami salah seorang penyintas di Labuan Panimba, Kabupaten Donggala, Aminullah A. Rahim saat memberi keterangan kepada media ini menjelaskan atas segala keterbatasan mau mengadu dan mengeluh kepada siapa?

“Sudah setahun lebih kami menghuni huntara dengan kondisi memprihatinkan, ditambah lagi dengan suhu panas menyengat, huntara yang kami hunipun sudah mulai rusak,” ungkap Aminullah dengan nada sedih.

Aminullah menjelaskan, sementara hunian tetap (Huntap) yang dinanti tak pernah ada realisasi, baik itu Rumah Instan Stimulan (Risah) BPBD ataupun Huntap dari PUPR.

Menyikapi hal tersebut Ketua Dewan Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia Forum Pemuda Kaili Bangkit (FPK-B) Sulteng, Moh. Raslin, menduga adanya konspirasi mengeksploitasi hak-hak pengungsi.

“Betapa tidak, dana fantastis sebesar Rp 1,9 triliun yang telah dikucurkan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) yang sudah lama masuk ke rekening Pemda patut dipertanyakan,” kata Raslin.

Mestinya, dengan dana besar seperti itu, kata Moh. Raslin, itu merupakan hak warga penyintas yang harus segera disalurkan dan diberikan segera. Untuk kepentingan penyintas dalam mendapatkan rumah layak huni, dalam bentuk Huntap berkualitas.

“ Dana yang maha gede tersebut diperuntukan buat kepentingan penyintas untuk pembangunan rumah stimulan, terdiri dari Rp 820,6 miliar untuk Kota Palu, Rp 568,6 miliar untuk Kab Sigi, Rp 516,7 miliar untuk Kabupaten Donggala, dan Rp 66,3 miliar untuk Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).

Begitu pula halnya, tambah Moh. Raslin, dengan Satuan Kerja (Satker) dan pemangku kepentingan rehabilitasi dan rekonstruksi (Rehab rekon) terkesan tidak amanah dalam menjalankan dan menindaklanjuti Instruksi Presiden (Inpres) RI No 10 Tahun 2018 tentang percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana sulteng dan daerah-daerah lain yang terdampak bencana,

Raslin lalu member conto sebuah kasus di pembangunan huntap tahap 1 A di Kelurahan Duyu Kota Palu dan Desa Pombewe Kabupaten Sigi yang dibangun asal-asalan dengan aksesoris yang tidak memenuhi standar kelayakan yang sangat berpotensi mengancam keselamatan penghuninya.

“ Mewakili segenap masyarakat penerima manfaat yang ada di Palu Sigi dan Donggala kami berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tipikor Polda Sulteng dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulteng kiranya dapat mengusut Satker stakekholder rehabilitasi dan rekonstruksi bahwa hal ini bukan perbuatan main-main, tapi sudah mendzalimi hak-hak penyintas dan penerima manfaat, “ beber Moh. Raslin kepada Radar Sulteng, Rabu (10/2).

Ditambahkan Raslin, patut diduga ada indikasi konspirasi dari Satker rehab rekon pasca bencana Sulteng antara lain Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II (BP2P), kemudian Satker Non Vertikal (SNVT) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta kontraktor pelaksana.

“ Karena secara teknis, Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) memiliki 138 rangkaian terdiri dari P1,78 panel P2, 30 panel dan P3,30 panel dengan bobot lebih kurang 6.000 kg, “ urainya.

“ Tak dapat dibayangkan jika bobot panel tersebut tidak ditopang oleh aksesoris electroplating galvanis sangat membahayakan, terlebih Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala masuk dalam daftar daerah rawan gempa memiliki cesar aktif yang sewaktu waktu dapat terjadi bencana gempa bumi.(mch)

 

Sumber: Radar Sulteng

 

Tinggalkan Komentar