Huntap Palu, Relokasi Berbasis Mitigasi Bencana

90 dilihat

Ditulis oleh

Adanya potensi bencana alam haruslah menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pembangunan permukiman. Terutama, pembangunan yang dilaksanakan di daerah rawan bencana. Dengan adanya pertimbangan tersebut, pembangunan rumah akan mengedepankan aspek mitigasi bencana sehingga dapat terbangun rumah yang tahan (resilience) terhadap potensi bencana di masa depan, seperti gempa bumi, likuifaksi, dan banjir. Aspek ini pula yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan Hunian Tetap (Huntap) dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, 28 September 2018 lalu.

Mitigasi Potensi Bencana

Pemerintah telah menetapkan lokasi untuk permukiman relokasi bagi korban bencana di Palu. Usulan lokasi, antara lain Duyu, Tondo, dan Talise, tercantum dalam usulan Peta Zona Rawan Bencana yang dirilis Pemerintah pada Desember 2018.

Berdasarkan penilaian kesesuaian lokasi huntap di kota Palu, diketahui kondisi lahan secara umum di kota Palu adalah berbukit dengan kemiringan di atas 15% sehingga rawan terhadap bencana longsor dan sedimen. Begitu pun dengan kondisi lahan di Tondo dan Duyu, di mana topografi Duyu lebih terjal dibanding Tondo.

Berangkat dari kondisi tersebut, pembangunan permukiman—dalam hal ini huntap—harus diawali perencanaan yang matang dengan pertimbangan adanya potensi bencana alam. Selain, juga harus memperhatikan kesesuaian lokasi dengan rencana pemanfaatan ruang sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah memuat aspek mitigasi bencana. Hingga saat ini, dokumen RDTR tersebut masih dalam proses legalisasi menjadi Perda.

Adapun salah satu hal penting yang menjadi bagian dari perencanaan adalah dilakukannya kajian hidrologi kawasan. Dengan kajian hidrologi, dapat diperkirakan perubahan karakteristik hidrologi akibat perubahan tata guna lahan, laju erosi, volume debit banjir, dan tingkat infiltrasi.

Ketiadaan kajian hidrologi kawasan pada lokasi huntap di Duyu dan Tondo-1 telah menyisakan pekerjaan rumah akibat banjir yang melanda Tondo-1 pada 17 Agustus 2020 lalu. Untuk itu, perlu segera dilakukan kajian hidrologi kawasan di keempat lokasi huntap di kota Palu, yaitu Duyu, Tondo-1, Tondo-2, dan Talise, karena adanya perubahan penggunaan lahan menjadi permukiman.

Disamping kajian, perlu juga disiapkan program untuk mengembalikan siklus hidrologi karena adanya perubahan tata guna lahan menjadi permukiman. Tak kalah penting, pembangunan juga harus sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku sebagai wujud upaya konservasi dan pelestarian sumber daya air dan lingkungan hidup.

Rehabilitasi, Rekonstruksi, Relokasi

Pascabencana gempa, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Sulawesi Tengah 2018, BNPB mencatat kerusakan rumah akibat gempa dan likuifaksi mencapai 115.103 unit rumah yang berada di wilayah Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong. Kerusakan terbesar (57%) atau sebanyak 65.673 unit terjadi di kota Palu. Sedangkan, total kerusakan dan kerugian yang terjadi mencapai Rp 18,48 triliun.

Untuk memulihkan kondisi, Pemerintah melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi (in-situ) serta relokasi dan pembangunan kawasan baru (ex-situ). Melalui program ini, telah dibangun huntap sebanyak 1.500 unit di Tondo-1. Sedangkan di Duyu, sebanyak 11 unit huntap telah selesai dibangun dan sebanyak 219 unit masih dalam proses penyelesaian. Sementara, di Tondo-2 dan Talise, rencana pembangunan huntap masih dalam tahap pematangan lahan. Di setiap lokasi direncanakan pembangunan huntap sebanyak 662 unit dan 702 unit. (pkp)

Sumber: Cipta Karya, PUPR

Tinggalkan Komentar