Huntap Tak Kunjung Tuntas, Huntara Susah Ditertibkan

28 dilihat

Ditulis oleh

Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait nasib para penyintas yang masih tinggal di Hunian Sementara (Huntara) baik itu yang ada di area Hutan Kota, Petobo, Kampung Lere, dan yang ada di beberapa tempat lainnya. Rapat Dengar Pendapat (RDP) di laksanakan di Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Provinsi Sulteng pada hari Rabu, 11 Mei 2022.

Rapat Dengar Pendapat (RDP) dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng, Dr.Ir.Alimudin Pa’ada, MS dan juga dihadiri beberapa anggota Komisi IV yakni diantaranya Moh.Hidayat Pakmundi,SE, Yahdi Basma,SH, dan Dra.Fatimah Amin Lasawedi.

Rapat ini menghadirkan Pemerintah Kota Palu, DPRD Kota Palu, BPBD Provinsi Sulteng, LSM, dan para Penyintas.

Dalam hal ini Ketua Komisi IV Bapak Dr.Ir.Alimudin Paada,MS dan seluruh Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng menyampaikan bahwa dasar daripada dilaksanakannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini adalah berdasarkan hasil dari kunjungan langsung ke huntara pada Selasa 10 Mei 2022, maka Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng meminta kepada seluruh tamu undangan yang hadir agar kiranya menyampaikan secara terbuka terkait permasalahan nasib bagi para penyintas yang masih tinggal di huntara hingga saat ini.

Menanggapi hal itu, Ibu Sri Sartini yang mewakili penyintas huntara Hutan Kota meminta agar kiranya pemerintah melakukan penertiban kepada para penghuni huntara agar tidak terjadi adanya keluar masuk bagi para penghuni huntara.

“Karena ada beberapa masyarakat yang tinggal di huntara itu bukan dari kalangan penyintas, sehingga data-data yang masuk kepada pemerintah tumpang tindih, dan yang lebih parahnya lagi ada beberapa masyarakat yang rumahnya baik-baik saja namun mereka tetap juga ikut tinggal di huntara demi ingin juga mendapatkan hunian tetap (huntap). Ada beberapa penghuni huntara sudah mendapatkan huntap namun tetap juga masih bertahan tinggal di huntara dikarenakan anak-anak meraka belum mendapatkan huntap. Semua penghuni huntara yang tinggal disana hanya ada 13 Kepala Keluarga yang memiliki alas hak atau sertifikat kepemilikan lahan,” ungkap Sri Hartini.

Sri Sartini juga menyampaikan terkait isu yang berkembang saat ini bahwa katanya pihak PUPR telah memberikan bantuan dana atau modal usaha kepada para penyintas, maka dengan tegas Sri Sartini menyatakan bahwa isu tersebut tidaklah betul adanya.

Sri Sartini  menambahkan bahwa kondisi huntaranya terkesan tidak ramah lingkungan dikarenakan tidak ada sekat antara ruangan yang satu ke ruangan yang lain. Sri Sartini juga sangat menyayangkan terkait informasi yang beredar bahwa para penyintas yang dari Kelurahan Talise akan dipindahkan ke daerah Pombewe.

Senada dengan Sri Sartini, Ibu Sumiati penyintas asal Kampung Lere mengaku dirinya terkesan bosan terhadap tindakan-tidakan pemerintah yang selalu melakukan pendataan namun hingga saat ini belum juga belum ada realisasi, yakni janji pemerintah kepada para penyintas akan segera mendapatkan hunian tetap.

Sementara itu, mewakili penyintas Petobo, Amirudin meminta kepada DPRD Provinsi Sulteng, khususnya Komisi IV kiranya juga turun langsung meninjau kondisi huntara yang di wilayahnya. Menurutnya, huntara yang di Petobo sangat memperihatinkan. Saat ini warga Petobo yang bisa mendapatkan hunian tetap hanya 670 KK, itu berdasarkan hasil penelitian dan survei lapangan yang dilakukan oleh BPBD Kota Palu.

“Namun sampai sekarang belum ada kepastian mutlak yang diberikan oleh Pemeritah Kota Palu terkait 670 KK itu betul-betul itu sudah pasti atau belum akan menerima hunian tetap,” ungkapnya.

Menanggapi itu, mantan Lurah Petobo, Nur Hasan mengatakan dirinya sangat mengapresiasi kepada Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng yang sudah mengelar pertemuan itu. Namun dirinya sangat menyayangkan peryataan pemerintah yang mengatakan bahwa daerah Petobo sudah tidak layak untuk dijadikan tempat pembangunan huntap dikarenakan katanya rawan bencana.

“Namun semua perkata itu tidak dibuktikan oleh data yang valid serta tidak ada semacam peryataan atau keputusan pemerintah secara tertulis bahwa daerah Petobo tidak layak untuk dijadikan tempat pembangunan hunian tetap,” tegasnya.

Nur Hasan juga sangat menyayangkan pemerintah terkait janji akan segera dilakukan pembangunan hunian tetap yang dimulai pada April  dan Oktober sudah ditempati, namun hingga saat ini biar batu secuil pun untuk pembangunan tidak ada.

“Saya sangat menyayangkan kepada DPRD Kota Palu karena hingga saat ini belum pernah mengundang atau memanggil masyarakat yang terdampak bencana khususnya masyarakat penyintas yang tinggal di huntara,” tegasnya.

Karena itu, Nur Hasan meminta kepada Komisi IV DPRD Sulteng kiranya secara kelembagaan bersama Gubernur Sulteng kembali menemui Presiden RI untuk meminta solusi agar persoalan pembangunan hunian tetap segera terselesaikan, sehingga penderitaan yang dirasakan oleh para penyintas yang tinggal di huntara hingga berakhir.

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Sulteng, Dr.Ir.Alimudin Pa’ada, MS mengatakan, berdasarkan Pergub No.10 Tahun 2019, untuk pembangunan Hunian Tetap (Huntap) yang pada waktu itu masih ditanda tangani Drs.Longki Djanggola selaku Gubernur Provinsi Sulteng yaitu sebanyak 11.788 unit huntap, tapi yang terealisasi hingga saat ini sebanyak 3.000 unit huntap yang dibangun oleh pihak swasta, sedangkan dari pihak pemerintah sebanyak 632 unit huntap. Jadi jumlah keseluruhan huntap yang terbagun hingga saat ini sebanyak 3.632 unit huntap, dan yang belum terbangun kurang lebih 8.156 unit huntap. Kata dia, berdasarkan informasi dari masyarakat bahwa salah satu kendala pembangunan huntap ini adalah mengenai lahan atau lokasi untuk pembanguna huntap itu sendiri.

Sementara, kata dia, terkait tampat pembangunan huntara saat ini, ada beberapa tempat yang dijadikan tempat pembagunan huntara itu berada di atas lahan orang, sehingga ada beberapa pemilik lahan sudah meminta agar bangunan huntara itu dibongkar karena sudah melewati waktu yang sudah disepakati yaitu dua tahun.

“Jadi ada beberapa pemilik lahan membuat perjanjian bahwa boleh saja huntara tersebut tidak dibongkar asalkan para penghuni huntara atau pemerintah bersedia membayar sewa lahan sebesar Rp.150.000 per bulan per satu kepala keluarga yang ada di huntara itu,” ungkapnya.

Selanjutnya, perwakilan BPBD Kota Palu yakni Kepala Bidang Tanggap Darurat dan Logistik, M.Bambang menyampaikan bahwa skema atau prosedur pembangunan Huntara itu hanya dirancang bisa bertahan selama dua tahun. Wajar adanya bahwa kondisi Huntara saat ini sudah mengalami kerusakan karena sudah kurang lebih empat tahun berdiri.

Terkait pembangunan huntap, Bambang mengatakan hingga saat ini ada beberapa tempat masih terkendala lokasi atau lahan, karena yang menjadi rekomendasi untuk dijadikan tempat pembangunan huntap masih berstatus sengketa. Kata dia, pembangunan huntap menggunakan dana bantuan dari beberapa yayasan seperti Buddha Tzu Chi dan juga dari APBN.

Untuk penertiban penghuni Huntara, Bambang mengungkapkan saat ini sedikit menuai kendala karena ada beberapa penghuni Huntara yang sebenarnya tidak bisa mendapatkan huntap tetapi mereka masih tetap bertahan tinggal di Huntara meskipun mereka juga bagian dari penyintas.

“Dan yang menjadi permasalahan juga saat ini adalah ada beberapa tempat yang sebelumnya dijadikan tempat pembuangan Huntara yaitu di atas lahan milik peribadi masyarakat sudah meminta agar kiranya huntara-huntara itu ibongkar karena sudah melewati kesepakatan awal pembangunan Huntara. Pemilik lahan juga menyampaikan bahwa apabila huntara-huntara tersebut tidak kunjung dibongkar maka para pemilik lahan akan meminta kesepakatan dengan pihak penghuni huntara atau pihak pemerintah untuk membayar biaya sewa lahan,” jelasnya.

Lanjutnya, terkait prosedur mendapatkan huntap harus memiliki bukti kepemilikan lahan atau tanah yang sesuai dengan by name by address.

Sementara itu untuk pembangunan Huntap Tondo II, pihak BPBD Provinsi Sulteng menyampaikan bahwa pembangunannya hingga saat ini masih terkendala status lahan,  dimana lahan yang akan dijadikan tempat pembangunan huntap masih berstatus HGB, akan tetapi persoalan HGB itu sudah diselesaikan Pemerintah Kota Palu.  Namun yang menjadi kendala baru saat ini adalah ada beberapa masyarakat yang masih mempermasalahkan terkait proses ganti rugi daripada pembangunan huntap yang berada di atas lahan HGB tersebut.

Untuk daerah Talise, Pemerintah Kota Palu sudah mencanangkan dalam program kerjanya bahwa wilayah Talise sudah masuk dalam perencanaan Zero Property, sehingga pihak PUPR sudah melaksanakan pelelangan untuk sesegera mungkin dilakukan pembangunan huntap. Dan terkait Inpres No.10 tahun 2019 tentang percepatan pembangunan pasca bencana itu sudah berakhir, sehingga dalam hal ini Gubernur Sulteng kembali menyampaikan kepada Presiden RI untuk memperpanjang kembali inpres tersebut. Saat ini perpanjangan Inpres tersebut sudah keluar tinggal menunggu tindaklanjut dari pihak BNPB dan Kementerian Pemukiman. Dengan itu, akan kembali terbit perpanjangan Pergub. Batas Inpres itu hanya sampai 2024.

Reporter: Yusuf Bj

Sumber: Metro Sulawesi

Tinggalkan Komentar