Tanggapan atas Hasil Pembahasan Huntap di Sulawesi Tengah dengan Wakil Presiden

“Kegentingan” Lahan Huntap

393 dilihat

Ditulis oleh

Kunjungan kerja Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin, ke Kota Palu, Sulawesi Tengah, pada Kamis, 6 Januari 2021, secara khusus mengagendakan pertemuan untuk membahas proses pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah. Utamanya, Wapres membahas penyediaan hunian tetap (huntap) untuk warga terdampak bencana (WTB) yang belum kunjung rampung.

Kedatangan Wapres yang terbilang “mendadak” itu boleh jadi mengisyaratkan ada sesuatu yang “genting” yang harus segera diatasi. Bagaimana tidak, memasuki tahun keempat pascabencana, ada ribuan WTB di Palu, Sigi, dan Donggala yang sampai saat ini masih belum memiliki kejelasan dan kepastian akan huntap yang menjadi hak mereka.

Pemerintah telah berjanji akan merampungkan penyediaan huntap dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Itu tengatnya 12 Oktober 2021 yang lalu. Dana pinjaman dari Bank Dunia untuk penyediaan huntap pun sudah sedari lama dianggarkan. Dari rencana awal akan membangun 11.788 unit, sejauh ini baru sekitar 3.000 unit huntap yang tersedia. Kementerian PUPR, yang diberi mandat untuk melaksanakan proyek penyediaan huntap, bahkan baru bisa merampungkan 630 unit.

Dengan kata lain, pada saat ini pemerintah sesungguhnya telah gagal menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak WTB. Bertolak dari kegagalan itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah dan kelompok penyintas bencana pada 31 Desember 2021 lalu menyatakan gugatan, pemerintah telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Pelanggaran HAM adalah tindakan serius. Ini pun sangat penting untuk dipandang “genting”.

Tengat dua bulan penyelesaian lahan

Selama ini, masalah ketersediaan lahan dipandang sebagai kendala yang menyebabkan mandegnya proses penyediaan huntap. Untuk itu, Wapres Ma’ruf Amin menegaskan, masalah lahan huntap paling lambat harus sudah diselesaikan pada akhir Februari 2022.

Khusus untuk Kota Palu, huntap yang sementara ini dibutuhkan masih sekitar 2.750 unit. Huntap rencananya akan dibangun di lokasi Tondo II, Talise, Petobo, Lere, dan huntap mandiri.

Lokasi Tondo II dan Talise sesungguhnya telah lama disiapkan, bahkan dari sejak diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur Sulteng Nomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018 tentang Penentuan Lokasi Huntap (SK Penlok). Siteplan di kedua lokasi itu pun sudah dibuat. Lokasi Petobo pada saat ini masih dalam proses konsolidasi lahan. Sedangkan di Lere, yang akan memanfaatkan lahan di lokasi eks-rusunawa, entah mengapa sampai saat ini belum kunjung dieksekusi. Padahal, huntap yang akan ditujukan bagi WTB dari Kampung Lere ini sudah direncanakan dari sejak 2020.

Terkait dengan lokasi Tondo II dan Talise, sedari awal, warga—terutama warga Talise Valangguni—sebenarnya telah mengajukan keberatan. Di atas lokasi yang akan dibangun huntap itu sebagian diklaim sebagai lahan milik mereka. Masalah menjadi kian berlarut ketika klaim warga tersebut tidak segera diselesaikan. Aturan malah dilanggar. Kementerian PUPR tetap melakukan proses pembersihan dan pengembangan lahan di kedua lokasi itu, bahkan dengan cara yang cenderung refresif, mengerahkan militer dan aparat keamanan.

Alhasil, meskipun proses pembersihan dan pengembangan lahan yang berbiaya hampir Rp 49 miliar itu sudah dilakukan, status lokasi Tondo II dan Talise sampai saat ini praktis “terlantar”. Pembangunan huntap tidak bisa dilakukan. Bank Dunia menilai, lahan di kedua lokasi itu belum sepenuhnya clear and clean. Dokumen “Rencana Pengadaan Lahan dan Aksi Relokasi” (LARAP) untuk Tondo II sebagaimana yang disyaratkan Bank Dunia bahkan masih belum diketahui lagi jejaknya sampai saat ini.

Halnya dengan lokasi Talise. Meskipun klaim warga di lokasi Talise sudah diselesaikan oleh Pemkot Palu, pembangunan huntapnya belum bisa terlaksana karena status dokumen LARAP-nya masih tertahan. Bank Dunia masih meminta ada lampiran persetujuan dari seluruh warga yang memiliki klaim lahan di atas lokasi tersebut.

Dengan pikiran optimis, permintaan Wapres untuk menyelesaikan masalah lahan huntap di akhir Februari 2022 memang masih dimungkinkan. Hanya saja, jika mencermati peta persoalan secara lebih mendalam, permasalahan lahan di lokasi Tondo II boleh dipandang cukup riskan untuk hanya bisa dirampungkan dalam waktu kurang dari dua bulan. Berkaca pada penyelesaian klaim warga di lokasi Talise, Wali Kota Palu sedikitnya butuh waktu tiga bulan sampai akhirnya ATR/BPN bersetuju memberi dan menetapkan lahan pengganti untuk warga. Jangan sampai, karena mengejar target penyelesaian di akhir Februari, pemerintah daerah dan Kementrian PUPR lantas mengambil jalan pintas, kembali melanggar aturan.

Opsi ke Pombewe

Wapres memberi opsi, pembangunan huntap akan dipindahkan ke Pombewe jika masalah lahan di lokasi Tondo II tidak rampung pada waktunya. Lokasi Pombewe, yang berada di Kabupaten Sigi, memang relatif tidak bermasalah sebagaimana sejumlah lokasi lainnya. Dari luas 201,12 hektar yang disiapkan untuk huntap, baru 104 hektar yang telah terpakai. Jika diperlukan, tambahan lahan 160,88 hektar di lokasi Oloboju, Sigi, yang juga telah dipersiapkan untuk huntap dan relatif tidak bermasalah, masih mungkin untuk digunakan.

Opsi untuk memilih huntap di Pombewe sudah dari sejak lama pula ditawarkan, utamanya kepada WTB Sigi. Sayangnya, tidak cukup banyak WTB yang tertarik untuk memilih opsi ini. Alasan WTB, lokasi huntap Pombewe jauh dari wilayah asal. Mereka pun akan kian terjauh dari kebun dan lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan. Alhasil, untuk huntap yang sudah rampung dan siap ditempati, sampai saat ini bahkan belum sepenuhnya terisi.

Adapun jika opsi ini ditawarkan kepada WTB dari Kota Palu. Besar kemungkinan, opsi ini tidak akan serta-merta diterima. Selain mereka pun akan berkeberatan seperti WTB Sigi, adanya kerterikatan historis-sosiologis dan status administrasi kependudukan akan sangat mungkin mengemuka sebagai alasan. Sebagian besar WTB liquefaksi dari Petobo, Kota Palu, misalnya, bahkan dari sejak awal tidak mau direlokasi ke wilayah lain di Kota Palu. Mereka bersikeras untuk memilih direlokasi ke wilayah aman yang masih berada di Petobo. Hal yang kurang-lebih sama terjadi pula di sebagian besar WTB dari wilayah Palu lainnya.

Akan butuh upaya intensif dan proses ekstra-serius yang tidak sebentar untuk bisa mengajak dan meyakinkan WTB dari Palu agar mau memilih opsi ini. Sementara, harus ada keputusan yang bisa diambil cepat agar pembangunan huntap bisa segera dilanjutkan. Memaksakan WTB agar mau memilih opsi ini, tentu, bukanlah langkah terpuji. Merujuk pada kebijakan dan aturan Bank Dunia, hal itu pun sangat tidak diperkenankan.

Opsi alternatif

Selain opsi ke Pombewe, ada opsi lain yang kiranya bisa diambil sebagai alternatif penyelesaian masalah lahan huntap untuk lokasi Tondo II di Kota Palu.

Pertama, melakukan enclave, memisahkan lahan yang diklaim warga dan hanya memproses lahan yang sudah dipastikan clear and clean. Proses enclave seperti yang dilakukan di lokasi huntap Duyu setidaknya bisa menjadi preseden. Oleh karena di Duyu itu pun ada klaim dari warga, Kementerian PUPR hanya menggunakan 14,1 hektar yang sudah dipastikan clear and clean untuk lahan huntap dari 38,6 hektar yang disiapkan.

Kedua, meminta ATR/BPN untuk melepas dan memberikan sisa lahan seluas 283,68 hektar di lokasi Tondo-Talise yang masuk dalam SK Penlok. ATR/BPN baru menyerahkan 157,14 hektar di Tondo-Talise dari 441 hektar luas keseluruhan yang masuk dalam SK Penlok. Sisa lahan tersebut sudah lebih dari cukup untuk menutupi kekurangan lahan yang masih dibutuhkan Kota Palu.

Sejauh ini, pemerintah daerah, baik provinsi maupun kota, sepertinya tidak bersikeras untuk meminta sisa lahan tersebut. Padahal, merujuk pada SK Penlok Gubernur Sulteng, dan dikuatkan oleh surat Menteri ATR/BPN Nomor: BP.04.01/1801/X/2019 tertanggal 15 Oktober 2019 yang meminta agar Kanwil ATR/BPN Sulteng tidak memperpanjang izin HGU dan HGB di lokasi Tondo-Talise, sesungguhnya tidak ada alasan bagi Kanwil ATR/BPN Sulteng untuk tidak melepas dan memberikan sisa lahan seluas 283,86 hektar itu, sepanjang dipergunakan untuk kepentingan penyediaan huntap. Terlebih, masalah lahan untuk huntap kini berada dalam “kegentingan”.

Di luar masalah itu, hal yang tidak kalah penting untuk diperhitungkan, pembangunan huntap tidak serta-merta akan segera terlaksana setelah lahan tersedia. Skema Bank Dunia mensyaratkan ada sejumlah prosedur yang terlebih dulu harus dilalui. Ini akan cukup memakan waktu. Belum lagi jika proses pengerjaan huntap itu pun berjalan lamban, serba meleset dari jadwal.

Bukan hanya soal lahan

Ketersediaan lahan bukanlah satu-satunya masalah yang menyebabkan mandegnya proyek penyediaan huntap untuk WTB. Proyek NSUP-CERC dan CSRRP hasil utang dari Bank Dunia yang dilaksanakan Kementerian PUPR pada faktanya berjalan carut-marut. Sedari awal proyek, Kementerian PUPR yang semestinya bergandengan tangan dengan pemerintah daerah, seolah lebih memilih untuk melenggang sendirian. Pemerintah daerah pada akhirnya lebih sering berkelit, “Itu adalah kewenangan pusat,” ketika mendapat tuntutan dari WTB ihwal kepastian pembangunan huntap.

Selama ini, tidak ada pihak yang sedari awal mengambil peran dan kewenangan untuk memimpin, mengoordinasikan, dan mengolaborasikan kerja-kerja yang dilakukan oleh banyak lembaga/instansi dan kementerian dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah. Salah satu akibatnya, Kementerian PUPR (seolah) bisa bekerja “mana suka”. Tidak ada pihak atau otoritas yang secara tegas dan terbuka mau menegur, mendesak, meminta pertanggungjawaban, dan mengevaluasi kinerja Kementerian PUPR dalam melaksanakan proyek itu.

Bertolak dari kinerja selama lebih dari dua tahun melaksanakan proyek huntap di Sulawesi Tengah, ada keraguan Kementerian PUPR akan bisa menyelesaikan pembangunan huntap dengan cepat. Kerja Kementerian PUPR lamban merayap. Untuk menyelesaikan 630 unit di Tahap 1A, Kementerian PUPR bahkan membutuhkan waktu sampai 14 bulan, lambat 8 bulan dari jadwal! Alih-alih melakukan evaluasi, Kementerian PUPR malah mengulangi keterlambatan yang sama dalam pelaksanaan pembangunan huntap di Tahap 1B-CERC. Pembangunan 976 unit huntap yang awalnya dijadwalkan selesai Juli 2021, sampai saat ini belum sampai sepertiganya yang rampung. Pembangunan huntap di Tahap 2-CSRRP bahkan masih belum memiliki kejelasan dan kepastian kapan akan dilaksanakan. Padahal, merujuk pada komitmen awal, Kementerian PUPR masih harus membangun sekitar 7.000 unit huntap lagi.

Pemerintah daerah dan Kementrian PUPR tentu saja harus sepenuh daya dan sepenuh hati untuk menepati janjinya kali ini. Ada begitu banyak janji yang sudah diingkari. Naganamo, ‘cukup sudah’. WTB kini butuh kejelasan dan kepastian akan huntapnya dengan segera.***

Tinggalkan Komentar