Membedah Potensi Konflik Penanganan Bencana

106 dilihat

Ditulis oleh

PALU – Berdasarkan sejarah kebencanaannya, Sulawesi Tengah (Sulteng) merupakan daerah dengan potensi bencana yang cukup tinggi, tetapi masyarakat Sulteng cenderung menjadi masyarakat pelupa. Sehingga, ketika terjadi bencana berikutnya, banyak masyarakat yang tidak siap menghadapinya, termasuk juga pemerintah.

Pemerhati kebencananaan Sulteng, Drs. Abdullah, MT, pada kegiatan Ngopi Bareng dan Diskusi Mengenai Kebencanaan, yang diinisiasi oleh Pasigala Centre bersama Sikola Mombine, pekan lalu, bertempat di salah satu kafe di Kota Palu. Kegiatan ini merupakan sarana refleksi dan evaluasi penanganan dan penanggulangan bencana Sulteng selama setahun.

Antropolog Universitas Tadulako (Untad), Drs. Muh. Marzuki, M.Si menjelaskan, persoalan lupa tersebut, karena masyarakat asli Sulteng tidak memiliki budaya tulis, melainkan budaya tutur. Ditambah Sulteng kata dia, merupakan daerah transmigrasi tertinggi ke-7 di Indonesia, sehingga sejarah kegempaan yang sebelumnya hanya diwariskan secara tutur, kemudian terlupakan oleh generasi berikutnya dan juga masyarakat pendatang.

Hal lain yang disorot oleh Marzuki, terkait penanganan bencana di Sulteng, yang menurutnya ditangani dengan pendekatan model barak, yang bertentangan dengan sistem model kultur daerah. Menurutnya, hal ini akan berpotensi untuk menimbulkan konflik sosial.

Potensi konflik ini kemudian diperjelas oleh Direktur Sikola Mombine, Risnawati, yang telah bekerja mendampingi masyarakat penyintas sejak masa tanggap darurat, hingga masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Salah satu potensi tersebut kata dia, adalah model pembangunan huntara dan huntap yang tidak berprespektif gender, yang kemudian menurutnya, meningkatkan kasus kekerasan terhadap perempuan, berupa pelecehan, pengintipan, pemerkosaan, dan tindak kekerasan lainnya.

Persoalan-persoalan lain terkait penanganan bencana selama satu tahun ini, juga dipaparkan oleh Sekretaris Jenderal Pasigala Center, Khadafi Badjerey, yang banyak melakukan kerja advokasi forum-forum korban bencana, di wilayah kabupaten Sigi, Donggala dan Kota Palu. Hal yang paling ditekankan oleh Khadafi, terkait efektivitas kerja satgas bentukan pemerintah pusat, yang kemudian dinilai menghambat kerja-kerja penanggulangan bencana oleh pemerintah di daerah. Oleh karena itu, Khadafi mendorong agar satgas tersebut dibubarkan.

Kegiatan ini ditutup dengan pembacaan resolusi penanganan bencana. Beberapa resolusi itu di antaranya, desakan pembubaran satgas bentukan pemerintah pusat, membangun pusat informasi dan aduan bencana, pelibatan masyarakat dalam pengumpulan data, serta desakan pemenuhan seluruh kebutuhan dasar korban, juga memprioritaskan penanggulangan bencana berbasis hak. ***

 

Sumber: Kabar Sulteng Bangkit

Tinggalkan Komentar