Pemerintah Kota (Pemkot) Palu menyebutkan sampai dengan akhir 2020 masih terdapat 4.000 keluarga penyintas bencana alam 2018 yang belum mendapatkan hunian tetap. Mereka memilih untuk relokasi ke tempat baru, setelah lokasi awal tempat tinggal mereka berada dalam zona rawan bencana.
PALU, SULAWESI TENGAH (VOA) — Wali Kota Palu Hidayat mengatakan masih ada 4.255 keluarga penyintas gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang masih menunggu pindah ke hunian tetap (Huntap), yang saat ini pembangunannya sedang dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembangunan Rakyat (Kementerian PUPR).Hidayat mengatakan pembangunan hunian tetap bagi keluarga penyintas bencana alam menjadi pekerjaan rumah selama 2021. Pada 2020, 1.728 keluarga telah menempati hunian tetap yang telah selesai dibangun oleh berbagai pihak seperti Yayasan Buddha Tzu Chi, AHA Center dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi).
Selain pembangunan huntap, Hidayat mengatakan pemerintah menyediakan anggaran sekitar Rp 280 miliar untuk perbaikan rumah warga di lokasi awal (insitu) yang tidak berada di dalam kawasan zona merah. Dengan begitu, mereka tidak perlu relokasi ke kawasan hunian tetap.
Dana untuk anggaran tersebut adalah dana stimulan ketiga yang diharapkan bisa dicairkan di awal tahun ini bagi para penyintas bencana alam di Kota Palu. Untuk keperluan pencairan dana perbaikan rumah, Wali Kota Palu menerangkan bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sedang menyelesaikan verifikasi data 21 ribu rumah berdasarkan kategori rusak berat, sedang dan ringan.
“Ini sudah hampir selesai verifikasinya. Insyaallah ini akan diturunkan ke Pemerintah Daerah akan dilakukan proses pembayaran melalui BPBD dan keuangan. Insyaallah, bulan Januari,” jelas Hidayat dalam diskusi bertema Refleksi Akhir Tahun 2020 Penanganan Bencana Alam dan Non Alam Kota Palu. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu menggelar diskusi itu pada Rabu (30/12/2020) lalu.
Sebanyak 1.925 Huntap di 2021
Kepala Satuan Kerja (Kasatker) Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW) Sulawesi Tengah PUPR, Aksa Mardani, dalam keterangan tertulis yang diterima VOA, Sabtu (9/1/2021), menerangkan berdasarkan data sementara dari Pemkot Palu, kebutuhan untuk pembangunan hunian tetap oleh Kementerian PUPR di Kota Palu pada 2020 yakni 5.758 unit. Dari jumlah baru terbangun sebanyak 1.968 unit, yang tersebar di di Kelurahan Duyu, Tondo Satu dan kelurahan Balaroa. Pada 2021 akan dilanjutkan dengan pembangunan 1.925 unit lagi.
Menurutnya masih tersisa 1.865 unit huntap yang sedang dipersiapkan oleh PUPR, baik penyiapan lahan dan pembangunan rumahnya. Diakuinya, pembentukan tapak yang siap dibangun masih terkendala oleh keberatan dari warga yang mengaku pemilik lahan di kelurahan Duyu, Tondo dan Talise.
“Kami harapkan agar Pemerintah Kota Palu bisa segera menyelesaikan permasalahan yang terjadi di lokasi, secepatnya dilakukan mediasi dengan masyarakat yang mengklaim dan harapan bersama agar keinginan dari warga terdampak bencana bisa terwujud secepatnya,” kata Aksa Mardani.
Arie Setiadi Moerwanto, Kepala Satuan Tugas Pelaksana Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Pasca Gempa Bumi dan Tsunami, Kementerian PUPR di Sulawesi Tengah menjelaskan di kawasan huntap yang sudah selesai dibangun pada 2020, sedang dilakukan pengerjaan infrastruktur pemukiman seperti jalan, pedestrian, drainase, dan penerangan jalan umum.
Dikatakannya, di kawasan Huntap Satu, pihaknya terkendala dengan ketersediaan sumber air baku yang tidak layak karena sudah tercemar merkuri dari limbah tambang.
“Jadi air baku atau air minum jadi kita akan mengambil dari Sungai Taipa. Sedang disiapkan secepatnya” jelas Arie Setiadi.
Tidak Layak Huni
Ibu Hamsia seorang penyintas bencana tsunami yang masih tinggal di hunian sementara (huntara) Mamboro mengatakan sudah dua tahun menantikan kepastian kapan bisa tinggal di huntap. Huntara yang terbuat dari bahan kalsiboard yang ditinggalinya bersama dua orang kerabat sejak 2019 sudah mulai rusak.
“Banyak rubuh-rubuh tidak bisa diinjak. Diinjak kiri-kanan rubuh, sudah lalu diperbaiki, ada diperbaiki ada tidak” kata Hamsia.
Dia mengaku pesimis akan bisa mendapat huntap karena adanya persyaratan harus memiliki sertifikat tanah. Padahal ketika tertimpa tsunami rumahnya didirikan di atas lahan yang disewanya.
“Nah macam kita (kami) ini yang sewa lahan. Tidak mungkin orangnya, pemilik lahan mau kasih kita (kami) sertifikatnya” ujar Hamsia, Minggu (3/1/2021). Hamsia tetap berharap dapat menempati hunian tetap.
Adriansa Manu, Koordinator Sulteng Bergerak berharap pemerintah bergerak cepat untuk menyediakan huntap bagi penyintas bencana alam yang masih tinggal di berbagai lokasi hunian sementara dalam kondisi memprihatinkan. Terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, penyandang disabilitas dan ibu hamil.
Adriansa mengatakan kondisi di huntara yang tidak layak dan penanganan berlarut-larut mengakibatkan banyak para penghuni huntara mengalami masalah psikolog, seperti depresi dan bahkan hingga bunuh diri.
“Apalagi saat ini sudah masuk awal tahun 2021, tentu penderitaan mereka akan makin mendalam” kata Adriansa, Selasa (5/1/2021).Dia menambahkan tanpa pekerjaan tetap, membuat para penyintas bencana alam tersebut rawan mengalami stres karena sulitnya menafkahi keluarga. [yl/ft]
Sumber : VOA Indonesia