Pengerjaan Hunian Tetap Penyintas Gempa Sulteng Meleset Jauh dari Target Awal

127 dilihat

Ditulis oleh

Penyediaan rumah atau hunian tetap bagi penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah baru selesai seluruhnya pada 2023. Perkiraan ini meleset dari target awal akhir 2020.

PALU, KOMPAS — Penyediaan rumah atau hunian tetap bagi penyintas gempa di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala di Provinsi Sulawesi Tengah diproyeksikan baru rampung pada 2023. Proyeksi itu meleset jauh dari target awal pada 2020. Penyediaan lahan menjadi kendala utama.

Kebutuhan hunian tetap atau rumah penyintas di tiga kabupaten/kota terdampak gempa, tsunami, dan likuefaksi mencapai 11.788 unit. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas akhir pekan lalu, saat ini sudah tersedia 2.845 hunian tetap atau 24,13 persen dari total kebutuhan. Hunian tetap yang tersedia itu dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta sejumlah yayasan dan lembaga sosial.

Hunian tetap yang rampung dibangun terbanyak di Kota Palu dengan jumlah 1.945 unit, tersebar di Kelurahan Tondo, Mantikulore, Duyu, Tatanga, dan Balaroa, Palu Barat. Sisanya di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Di Donggala, pembangunan belum dimulai sama sekali karena lahan baru rampung disediakan.

Dari hunian tetap yang tersedia, sekitar 500 keluarga penyintas sudah menempati rumahnya di Kelurahan Tondo. Mereka mulai menempati hunian tetap tersebut pada Mei 2020. Penghunian di Pombewe mulai dicanangkan Pemerintah Kabupaten Sigi pada Oktober 2020.

* *

Gempa berkekuatan M 7,4 yang diikuti tsunami dan likuefaksi melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018 atau dua tahun lalu. Bencana tersebut menewaskan 3.124 orang. Sebanyak 705 orang dinyatakan hilang dan 1.016 jasad dimakamkan tanpa identitas.

Pemerintah menetapkan kawasan terdampak parah bencana, seperti sekitar garis sesar Palu Koro (pemicu gempa), serta daerah bekas terjangan tsunami maupun likuefaksi, sebagai zona merah yang terlarang untuk pembangunan hunian baru. Mereka yang rumahnya berada di titik-titik tersebut direlokasi ke lahan baru dengan pembangunan rumah dilakukan pemerintah bersama lembaga sosial. Sebelum menempati hunian tetap, penyintas tinggal di hunian sementara.

Kepala Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulteng Suko Wiyono mengatakan, pengerjaan hunian tetap dilakukan secara bertahap atau sistem paket. Paket pertama dengan total 1.600 unit dikerjakan pada 2020 dan rampung semuanya pada awal 2021. Hunian tetap itu tersebar di Duyu dan Balaroa di Kota Palu serta Desa Pombewe di Kabupaten Sigi.

Adapun paket kedua dengan berbagai mekanisme, antara lain hunian tetap mandiri dan satelit, baru mulai dikerjakan pertengahan 2021. Untuk hunian tetap mandiri dan satelit, perlu diverifikasi keabsahan lahan serta jarak lahan dengan fasilitas umum.

”Ditargetkan semua penyediaan huntap selesai pada 2023,” kata Suko di Palu, Senin (28/9/2020).

Hunian tetap mandiri merupakan fasilitas bagi penyintas yang tak mau direlokasi, tetapi memiliki lahan sendiri. Dalam kasus semacam itu, pemerintah menyediakan rumah di lahan yang disiapkan penyintas. Sementara hunian tetap satelit disediakan bagi kelompok penyintas yang juga terpisah dari relokasi komunal.

Belum rampungnya pembangunan hunian tetap tak sesuai target awal pemerintah. Dalam rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana Sulteng, penyediaan rumah harus rampung pada 2020. Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Palu pada 29 Oktober 2020 menegaskan, pembangunan hunian tetap rampung pada 2020. Dalam kunjungan itu, Presiden menyebut penyintas tidak boleh menunggu terlalu lama mendapatkan hunian.

Kendala lahan

Suko menyampaikan, sengketa lahan di kawasan hunian tetap menjadi kendala pembangunan. Sengketa itu menyebabkan pekerjaan terhambat, terutama pada tahap penyediaan dan pembersihan lahan (land clearing).

Lahan hunian tetap di Kelurahan Tondo dan Talise yang mencapai 113 hektar, misalnya, diklaim warga Kelurahan Talise dan Talise Valangguni serta Tondo sejak pertengahan 2020. Meskipun sengketa itu belum kelar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Pemerintah Kota Palu tetap bekerja.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu Singgih B Prasetyo menambahkan, masalah lahan tersebut menjadi kendala besar dalam penyediaan hunian tetap. Sengketa lahan itu kini ditangani Kejaksaan Tinggi Sulteng. ”Ini memang tak semudah soal hitam-putih. Tetapi, masalah itu sedang berproses secara hukum. Semua harus bersabar,” katanya.

Arjad (38), penyintas gempa dan likuefaksi di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, menilai, terlepas dari persoalan sengketa lahan, pemerintah sangat lamban bekerja. Menurut dia, jika masalah hunian tetap krusial, seharusnya sengketa lahan bisa diselesaikan dengan cepat.

”Kami berharap penyediaan hunian tetap tidak sampai 2023. Kami minta paling lambat tahun depan sudah harus selesai,” ucapnya.

Ia menyayangkan pemerintah yang kurang transparan dalam menyampaikan perkembangan pengerjaan hunian tetap. Selama ini, penyintas tak pernah diberi tahu perkembangan pengerjaan hunian.

”Kami hanya diberi formulir untuk memilih lokasi relokasi sampai berkali-kali, tetapi tidak diberi tahu perkembangan pembangunannya. Pengerjaan dan informasi terkait hunian tetap sama pentingnya untuk penyintas,” ujar Arjad yang tinggal di hunian sementara Petobo.

Pandemi Covid-19 turut menghambat pembangunan hunian tetap. Suko menyebutkan, mobilisasi tenaga kerja, terutama tenaga kerja teknis, tidak mudah dilakukan di tengah pembatasan sosial masyarakat. ”Kami ingin (kerja) cepat, tetapi faktanya di lapangan, ya, begitu (banyak kendala),” kata Suko.

 

Sumber: Kompas

Tinggalkan Komentar