Ragam Masalah Iringi Proses Relokasi ke Huntap

143 dilihat

Ditulis oleh

Ketiadaan pusat informasi, penolakan penyintas untuk direlokasi dan permasalahan status lahan relokasi, adalah beberapa dari sekian banyak masalah yang hadir dalam proses relokasi penyintas bencana 28 September 2018 lalu, ke lokasi hunian tetap (huntap). Masalah-masalah ini diutarakan para penyintas dari berbagai lokasi, seperti Balaroa, Duyu, Mpanau, Pombewe, Panau, Petobo, Lere, Talise, Talise Valangguni, dan Tondo, yang hadir pada diskusi terfokus (FGD) Rehab Rekon Huntap, yang dilaksanakan oleh Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulteng, Selasa (21/7/2020), di Rumah Peduli SKPHAM.

Dalam diskusi terfokus tersebut, sejumlah penyintas dari berbagai lokasi, menceritakan masalah-masalah yang mereka hadapi. Aco dari Lere misalnya, menjelaskan, dari 205 KK yang tinggal di Huntara di Jalan Diponegoro, hanya 50 KK yang bersedia direlokasi ke huntap, sementara sisanya menolak, karena bergantung dengan mata pencahariannya sebagai nelayan, sedangkan lokasi relokasi terletak jauh dari pantai.

“Huntara di Jalan Diponegoro sudah jatuh tempo, dan mereka diberi waktu tambahan selama tiga bulan ke depan. Hanya 50 KK yang ke huntap, sisanya tidak mau direlokasi, karena mata pencahariannya nelayan. Rencana dari Pemkot, kabarnya rumah susun (rusun) di Lere, hendak dibuatkan huntap,” urainya.

Hal yang sama juga diungkapkan Satna, warga huntara Pombewe, Kabupaten Sigi, yang kini dalam situasi gamang, karena pemilik lahan huntara yang ditempatinya sudah meminta lahannya kembali dan memberi waktu sampai September untuk pindah, sementara pengerjaan huntap di Pombewe, hingga saat ini belum rampung.

“1 September, kami sudah diminta mengosongkan huntara, sementara huntap di Pombewe katanya Desember rampung. Kami bingung harus bagaimana,” keluhnya.

Sementara itu Nunung dari Balaroa, mengeluhkan sulitnya akses informasi terkait relokasi di masyarakat. Kata dia, akses informasi yang tidak satu pintu ini, membuat informasi di masyarakat jadi simpang siur, sehingga acapkali menimbulkan keresahan di masyarakat, soal relokasi.

Keluhan Nunung ini dijawab oleh Asril, yang menjelaskan, untuk warga Balaroa, ada dua pintu akses informasi. Untuk warga lokal kata dia, informasi dipusatkan di kelurahan, sedangkan untuk warga korban likuefaksi di Perumnas Balaroa, informasi dipusatkan di Forum Komunikasi Warga Perumnas.

Selanjutnya, soal status lahan relokasi, Koordinator Talise-Valangguni, Bey Arifin mengatakan, Pada dasarnya masyarakat Talise-Valangguni tidak menolak huntap, tetapi seharusnya kata dia, mereka juga diajak untuk membicarakan hal tersebut. Kata dia, ada beberapa solusi dari warga soal lokasi relokasi, misalnya lokasi lapangan golf dan hutan kota.

“Misalnya lapangan golf Talise itu, kenapa tidak dijadikan lokasi huntap? Toh selama ini juga tidak memberi sumbangsih bagi masyarakat,” ujarnya.

FGD ini sendiri merupakan bagian dari proses monitoring pembangunan huntap yang dibiayai dari pinjaman Bank Dunia, yang dikelola oleh Kementerian PUPR. Ketua tim monitoring, Moh. Syafari Firdaus mengatakan, monitoring ini merupakan bagian dari ikhtiar partisipasi SKP-HAM Sulteng, dalam prinsip inklusi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju menjelaskan, kegiatan FGD ini dilaksanakan untuk mendapat catatan sekaitan dengan proses monitoring huntap, dilihat dari segala syarat yang dimintai oleh Bank Dunia. Monitoring ini sendiri dilakukan secara independen oleh SKP-HAM.

“Adapun FGD ini akan menyasar tiga kelompok. Pertama, warga terdampak bencana, warga terdampak proyek huntap, dan warga pemilik lahan. Kedua, NGO dan media. Ketiga, pemangku kebijakan,” ujarnya. JEF

 

Sumber: Mercusuar

Tinggalkan Komentar