Sengkarut Lahan Huntap di Palu, Ribuan Penyintas Bencana Bisa Terlantar

117 dilihat

Ditulis oleh

Salah satu sumber utama pendanaan Rehabilitasi-Rekonstruksi (RR) pascabencana di Kota Palu adalah pinjaman Bank Dunia. Untuk kepentingan pembangunan Hunian Tetap (Huntap), Bank Dunia memplot dananya sebesar Rp 1,4 triliun.

Namun untuk mengelola dana dengan nilai fantastis ini ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Lantas seenaknya dibelanjakan begitu saja. Ada aturan main yang harus dipenuhi si peminjam.

Bila kepentingannya untuk membangun Huntap, maka aturan main penyediaan lahan harus clear and clean. Tak boleh ada masalah sekecil apapun. Terlebih menyangkut sosial kemasyarakatan.

Sayang, ini tak berjalan mulus.  Sejumlah warga tiba-tiba saja memasang patok. Memagari lahan. Dan mengklaim bahwa lahan yang akan menjadi lokasi Huntap adalah miliknya. Ini terjadi di Kelurahan Talise Kecamatan Mantikukore.

“Jalannya jadi tidak mulus lagi. Karena ada yang telah mengganggu proses  penggunaan dana tersebut,” kata Wali Kota Palu, Hidayat, Selasa 21 April 2020.

Tindakan segelintir warga itu sebutnya sangat beresiko besar. Bisa saja mengorbankan ribuan penyintas bencana yang rencananya akan direlokasi ke Huntap-Huntap pada lahan yang sebelumnya telah ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Sulteng.

Klaim warga pun sangat mungkin menyebabkan para penyintas terlantar. Tak kunjung mendapat Huntap. Para penyintas yang notabene saat ini masih hidup disejumlah titik Hunian Sementara (Huntara). Serta tenda  pengungsian dengan kondisi memprihatinkan.

Hidayat memaparkan, proyek RR  pembangunan Huntap ini mendapat pengawasan yang cukup ketat dari Bank Dunia. Yang secara detail akan mengamati setiap progresnya.

Klaim wargapun menjadi masalah yang amat serius untuk Kota Palu dan kepentingan penyintas. Karena kesiapan dana pinjaman Bank Dunia untuk membangun Huntap, dibatasi hanya selama 2 tahun.

“Jika masih ada persoalan sekecil apapun didalamnya, maka proses pembangunan Huntap itu akan tersendat,”katanya.

Wali kota mengaku, lahan Huntap yang dipagari sejumlah warga di Kelurahan Talise merupakan lahan milik Pemprov Sulteng yang telah dihibahkan ke Pemkot Palu.

“Saya sudah sampaikan, jika ada yang  merasa memiliki lahan dan mempunyai bukti bukti kepemilikan sah. Silahkan mengajukan tuntutan melalui jalur hukum. Tapi saya minta biarkan proses Huntap tetap berjalan.  Tolong janganlah diganggu,”harapnya.

Karena gangguan kecil demikian akan berakibat fatal bagi para penyintas yang telah kehilangan tempat tinggal saat bencana lalu.

“Saya ingatkan lagi, jumlah penyintas yang akan masuk ke Huntap itu ada sebanyak 7 ribu kepala keluarga (KK). Kalau dikali 3 orang saja setiap  KK, maka ada 21 ribu orang yang bisa terlantar akibat ulah oknum tersebut,” jelasnya.

Karenanya Hidayat mengajak semua elemen untuk berpikir jernih dalam melihat persoalan kebencanaan yang ada dikota Palu saat ini.

“Dalam hal ini saya mengajak kita untuk tidak membawa-bawa persoalan bencana keranah politik. Tanggalkan  dulu itu. Mari kita berpikir jernih dalam melihat persoalan ini. Karena kalau proyek Huntap ini gagal,  maka siapapun yang menjadi Wali Kota kedepan tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.

Kemudian berharap semua pihak saling mendukung upaya untuk menuntaskan kesempatan yang sudah diberi Bank Dunia. Yakni merampungkan persoalan kebencanaan, khususnya persoalan lahan Huntap.

Hidayat mencontohkan, kegagalan untuk mendapat bantuan donatur sudah pernah terjadi di Kelurahan Balaroa. Saat ini sebuah lembaga donatur hendak memberi bantuan pembangunan Huntara. Tapi tiba-tiba  muncul penolakan warga. Aksi penolakan ini langsung direspon donatur dengan membatalkan rencana bantuannya.

“Langsung dibatalkan donatur akibat ulah segilintir orang yang memimpin warga melakukan demo, menolak Huntara. Akhirnya tidak sedikit warga Balaroa saat ini masih hidup di tenda- tenda pengungsian,”kisahnya.

Tak sampai disitu, warga di tenda -tenda pengungsian Kelurahan Balaroa yang ikut sebelumnya ikut menolak,  kala itu ujar Hidayat, kemudian mendatanginya.

“Mereka datang kepada saya dan meminta untuk dibangunkan Huntara. Nah inikan kasian. Akibat ulah segelintir orang yang kemudian berdampak terhadap kesengsaraan warga, tuturnya

Ketika lanjut Hidayat, ditanya alasan dibalik penolakan, dan siapa oknum yang menggerakkan, warga justru mengaku tidak mengetahui lagi dimana rimban watga yang mempelopori penolakan itu.

“Masalah penolakan Huntara di Balaroa ini sudah menjadi pelajaran untuk kita. Jangan terulang lagi dalam usaha pembangun Huntap. Yang prinsipnya dibangun untuk saudara saudara kita yang bermimpi dapat hidup bersama keluarganya di tempat selayaknya,”demikian Hidayat.

Kepala Balai Prasarana Pemukiman (BPPW) Sulteng, Ferdinan Kana’lo, membenarkan, pengelolaan dana pinjaman Bank Dunia untuk pembangunan Huntap punya batas waktu pengelolaan.

“Bukan ditarik ya, tapi berakhir masa pinjaman,”jelas Ferdinan.

Jumlah dana pinjaman Bank Dunia kata dia sebesar 100 juta US Dolar atau senilai Rp1,4triliun. Yang direncanakan membiayai RR pascabencana 2018 di Kota Palu.

Cakupan belanjannya adalah pembangunan Huntap, rumah sakit, puskesmas, pasar, sekolah infrastrktur lain sesuai kebutuhan RR.

“Sebenarnya dana itu lebih dipioritaskan mbangun Huntap. Jadi sebesar apapun Huntap yang akan dibangun,”kata Ferdinan.

Pengelolaan dana menurutnya dibatasi hingga akhir April 2020. Semisal ada perpanjangan hingga Desember 2020 atau bahkan Hingga April 2021 nanti, maka dari sekarang list sudah harus dibuat. Dan fix hingga akhir tahun ini.

“Akan disampaikan ke Word Bank bahwa kami akan tetap menggunakan dana ini. Tapi penyerapannya akan berakhir pada Desember 2020 atau April  2021. Artinya kita meminta tambahan 4 bulan lagi jika melewati tahun depan,”ujarnya.

Persoalan lain kata Ferdinan dalam usulan perpanjangan masa penyerapan dana,  bahwa sejauh ini masih banyak masyarakat yang belum mau memilih untuk ikut skema pemerintah untuk pindah ke lokasi Huntap.

“List itu akan memuat jumlah warga yang siap untuk Huntap.  Karena system pembangunan Huntap oleh Word Bank harus ada kerelaan warga untuk pindah. Dalam artian berapa banyak warga yang menyatakan siap untuk pindah begitu juga jumlah rumah yang akan dibangun,”tuturnya.

Pembiayaan bank dunia kata dia akan berakhir April 2020. Jika diajukan perpanjangan ke pemerintah pusat, maka kemungkinan juga pemerintah pusat akan mencari lagi sumber pembiayaan dalam bentuk rupiah.
.Tapi tidak mungkin bisa lahir dari rupiah dengan posisi wabah  Covid-19. Melainkan pinjaman dari luar

“Ini pinjaman ada bunganya dan sudah standbye di bank selama satu tahun lebih dan berbunga. Paling konyol lagi,  kita sudah bayar bunga sekarang, tambah kena pinalti lagi karena harus bangun mundur sampe Desember 2020,” jelasnya.

Kata Ferdinan,sebenarnya nilai 1 unit  Huntap yang akan dibangun di Talise jauh lebih tinggi daripada rumah yang ada di insitu atau rumah- rumah yang dibangun satelit.

Sertifikat Huntap nantinya bisa jadi agunan untuk pinjaman bank. Jika ada yang butuh  modal usaha. Nilai rumah yang dibangun dikawasan Huntap lebih mahal karena Perbankan akan menilai dari sisi kawasan.

“Saya berani perkirakan bahwa harga rumah dikawasan itu sekitar Rp.500 juta. Dengan harga 500juta, maka peluang pinjaman bisa Rp.250juta,”urainya.

Iapun mengajak warga untuk berpikir bijak melihat peluang ini. Dan segera mengambil siap untuk segera mendaftarkan diri memilih Huntap yang berada di kawasan tersebut.

Sebab kawasan Huntap nantinya dibangun dengan standar penataan kawasan yang baik. Seperti pada Huntap di Desa Pombewe dan Kelurahan Tondo.

Huntap di Kelurahan Talise akan  dibangun 300 ribu unit. Dan berbagai fasilitas umum. Sekolah, puskesmas, pasar, taman, ruang terbuka hijau.

“Kita berharap Proses Huntap ini khusunya persoalan lahan yang ada di Talise itu jangan diganggu karena akan menerlantarkan ribuan orang. Kita tidak ingin ada benturan warga dikemudian hari. Bila Huntap batal dibangun,  maka ribuan orang ini bisa ngamuk,”pungkasnya.

 

Sumber: Palu Ekspres

Tinggalkan Komentar