Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah, Ferdinand Kana Lo, mengungkapkan, telah tersedia Posko Pelayanan Hukum bagi warga yang ingin mengajukan gugatan atau permasalahan hukum soal lahan hunian tetap (huntap), baik itu di wilayah Tondo 1, Tondo 2, Kelurahan Talise, dan Kelurahan Duyu.
“Kemarin melalui Danrem Tadulako sebagai Ketua Percepatan Rehab Rekon pada rapat awal Januari itu di kantor saya telah mengambil beberapa jalan keluar terkait permasalahan lahan huntap yang banyak diklaim warga, salah satunya kami telah membentuk Posko untuk penanganan lahan dan Posko WTB (Warga Terdampak Bencana), karena WTB ini sering terombang ambing, apakah ingin mengambil huntap atau tidak,” ungkap Ferdinand di Palu beberapa waktu lalu.
“Dan kita ketahui skema pembangunan Huntap di Kota Palu ini yang paling mudah dengan menggunakan tanah negara, yaitu eks HGU/HGB, walaupun di atas tanah negara ini banyak problem namun hal itu terbilang mudah untuk diatasi, karena aslinya itu tanah negara,” ungkapnya lagi.
Kalau memang, kata Ferdinand, jika dikemudian hari ada warga punya hak secara hukum di atas HGU/HGB tersebut, pastinya akan diganti oleh negara.
“Karena ada undang-undang kebencanaan yang memang melindungi warga terkait itu, kalau memang kita ambil sekarang pasti akan diproses ganti ruginya sesuai dengan prosedur yang berlaku,” jelasnya.
Fedinand pun berharap jika warga yang merasa punya hak di atas lahan HGU/HGB yang akan dibangun huntap tersebut untuk melaporkannya ke Posko WTB maupun Posko Penanganan Lahan Huntap.
“Sudah 2 tahun permasalahan ini tidak tuntas-tuntas, saya harapkan saudara-saudara yang merasa punya hak atas lahan yang diserahkan BPN/ATR kepada Kementerian PUPR, kita bisa bantu melalui posko itu dengan upaya hukum. Bahkan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulteng bersedia menyediakan pengacara/advokat untuk itu,” katanya.
Namun, kata Ferdinand, banyak warga yang merasa punya hak di atas lahan huntap itu tidak mau mengajukan upaya hukum.
“Kalau merasa kalah, kan kemarin Wali Kota sudah membuka ruang mediasi, dan Wali Kota akan menggunakan hak diskresinya, karena Pemkot Palu memiliki 50 hektar lahan. Namun waktu pertemuan soal ini tidak ada kesepakatan yang dicapai, maka pasca pertemuan dengan warga itu, kami bersama Forkompimda langsung melakukan rapat. Dan hasilnya memerintahkan pihak Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah untuk eksekusi lahan,” jelasnya.
Ferdinand mengungkapkan, pascaeksekusi lahan itu, kemudian persoalan ini mengalami kebuntuan, namun Bank Dunia sebagai donatur (dana pinjaman) tidak ingin hal ini terjadi.
“Bank Dunia sebagai pemberi pinjaman ingin hal ini (soal lahan) clear, tidak ada masalah. Oleh karena itu, kami berharap Posko itu bisa berfungsi maksimal. SK Wali Kota soal Posko itu sudah ada, Ketuanya Kepala Bappeda, saya anggota,” jelasnya.
“Saya minta cek bagaimana Posko ini apakah sudah berjalan atau belum, karena saya ini cuma anggota. Kemarin Pak Wali Kota minta saya mengambil inisiatif terkait Posko ini, bagaimana caranya saya cuma anggota. Jadi kita tunggu saja,” katanya.
Kata dia, secara faktual lahan huntap itu sudah dikuasai PUPR, namun secara administratifnya belum dipegang oleh PUPR.
“Karena untuk kelanjutan pembangunan huntap itu, Bank Dunia kan minta Dokumen LARAP (Land Acquisition and Resetlement Action Plan), dan dalam dokumen ini harus tercantum penyelesaian lahan huntap itu seperti apa. Nah, jalan keluar saya ambil kemarin yakni mengadakan lahan garansi bagi Bank Dunia, contohnya di Tondo 2 sekitar 5 hektar. Jika tidak begini Bank Dunia hentikan pinjamannya, karena kita punya perjanjian dengan Bank Dunia,” jelasnya.
Reporter: Yusuf Bj
Sumber : Metro Sulawesi