Carut-marut Penyediaan Hunian Tetap

426 dilihat

Ditulis oleh

Bencana gempa bumi 7,4 M pada 28 September 20218 yang disusul dengan tsunami dan liquefaksi yang menerjang Sulawesi Tengah telah lebih dari tiga tahun berlalu. Kini, memasuki tahun keempat pascabencana, ada lebih dari 6.000 KK warga terdampak bencana (WTB) di Palu, Sigi, dan Donggala yang masih belum mendapatkan kejelasan dan kepastian terkait dengan hak-hak dasar mereka. Hak atas hunian tetap (huntap) adalah salah satunya.

Dari perspektif hak asasi manusia, mendapatkan hunian adalah hak dasar warga negara. Hunian adalah penopang bagi keberlangsungan hidup, menjadi dasar bagi warga agar mereka bisa hidup secara layak dan bermartabat. Bagi WTB yang kehilangan tempat tinggal, pemenuhan hak atas huntap menjadi penting untuk diprioritaskan.

Pemerintah memang telah menempuh berbagai langkah dan upaya untuk melakukan pemenuhan atas hak tersebut. Rencana dan skema untuk pembangunan huntap sudah disiapkan: huntap ex situ (relokasi) dan huntap in situ. Pendanaan untuk penyediaan huntap itu pun sudah tersedia.

Untuk huntap relokasi, Pemerintah Indonesia menganggarkannya dari pinjaman kepada Bank Dunia sebesar US$250 juta (lebih dari Rp 3,5 triliun). Pelaksanaannya dilakukan Kementerian PUPR lewat National Slum Upgrading Project—Contingency Emergency Response Component (NSUP-CERC, Tahap 1) dan Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstuction Project (CSRRP, Tahap 2). Sedangkan untuk huntap in situ (dana stimulan), pemerintah mengucurkan dana Rp 1,9 triliun melalui BNPB.

Berjalan carut-marut dan sangat lamban

Proses penyediaan huntap yang dilakukan Kementerian PUPR lewat NSUP-CERC dan CSRRP yang dibiayai dari dana utang Bank Dunia itu, faktanya, berjalan carut-marut dan sangat lamban. Sedari awal proyek ini berjalan, Kementerian PUPR, yang semestinya bergandengan tangan dengan pemerintah daerah, seolah lebih memilih untuk melenggang sendirian. Pemerintah daerah pada akhirnya lebih sering berkelit ketika ditanya ihwal kepastian pembangunan huntap: “Itu adalah kewenangan pusat.”

Setelah lebih dari dua tahun proyek berjalan, Kementerian PUPR praktis baru bisa menyelesaikan 630 unit huntap di Tahap 1A-CERC dari komitmen awal yang akan membangun 8.788 unit secara keseluruhan. Penyelesaian huntap di Tahan 1A-CERC itu pun molor delapan bulan dari jadwal.

Alih-alih melakukan evaluasi, Kementerian PUPR malah mengulangi keterlambatan yang sama dalam pelaksanaan pembangunan huntap di Tahap 1B-CERC. Pembangunan 976 unit huntap yang awalnya dijadwalkan selesai Juli 2021, sampai saat ini belum sampai sepertiganya yang rampung. Pembangunan huntap di Tahap 2-CSRRP bahkan masih belum memiliki kejelasan dan kepastian kapan akan dilaksanakan. Padahal, merujuk pada komitmen awal, Kementerian PUPR masih harus membangun sekitar 7.000 unit huntap lagi.

Selama ini, tidak ada pihak atau otoritas yang secara tegas dan terbuka mau menegur, mendesak, meminta pertanggungjawaban, dan mengevaluasi kinerja Kementerian PUPR dalam melaksanakan proyek itu. Pun, tidak ada otoritas (atau setidaknya, pemerintah daerah) yang mempertanyakan ketika Kementerian PUPR, yang jelas-jelas telah terlambat dari jadwal, lantas dengan “mana suka” melakukan addendum kontrak perpanjangan pelaksanaan pembanguan huntap di Tahap 1B-CERC: dari yang sebelumnya akan dilaksanakan dalam 264 hari kalender menjadi 449 hari kalender. Hal yang lebih mengherankan, karena keterlambatan pengerjaan itu, nilai kontrak yang di-addendum justru malah bertambah! Ini sudah jelas salah, tapi malah mendapat hadiah.

Sementara ini, Kementerian PUPR dan pemerintah daerah berdalih, lambatnya proses penyediaan huntap karena adanya kendala pengadaan dan ketersediaan lahan. Tidak dipungkiri, ketersediaan lahan memang menjadi satu soal. Namun, hal yang perlu dicamkan, setelah lahan tersedia pun tidak lantas mengartikan proses pembangunan huntap serta-merta akan berjalan lancar. Di lahan yang sudah tersedia, yang statusnya sudah clean and clear, tidak bermasalah, sebagaimana yang diminta Bank Dunia, pembangunan huntap ternyata tetap diiringi dengan berbagai masalah. Paling tidak, pembangunan huntap masih berpotensi molor sebagaimana yang terjadi di Tahap 1A dan 1B-CERC.

Kondisi carut-marut dan lambannya proses penyediaan huntap justru lebih dikarenakan tidak ada pihak yang sedari awal mengambil peran dan kewenangan untuk memimpin, mengoordinasikan, dan mengolaborasikan kerja-kerja yang dilakukan oleh banyak lembaga/instansi dan kementerian. Pada konteks ini, Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah sesungguhnya sangat diharapkan untuk bisa mengambil peran dan kewenangan tersebut.

Pelanggaran HAM

Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah No.10/2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana telah mengamatkan bahwa bantuan dan penyediaan huntap bagi WTB harus sudah diselesaikan dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Mengacu pada Pergub tersebut, seluruh WTB yang berhak atas huntap seharusnya sudah bisa menerima dan menikmati hak atas huntap selambat-lambatnya pada 12 Oktober 2021 yang lalu.

Dengan kata lain, pada saat ini pemerintah sesungguhnya telah gagal menjalankan kewajiban dan tanggung jawab yang telah dimandatkan untuk memenuhi hak-hak WTB. Dari perspektif hak asasi manusia, kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak warga adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pada konteks ini, pelanggaran yang dilakukan tidak hanya terhadap hak atas hunian. Seiring dengan itu, pemerintah pun telah melanggar hak-hak dasar lainnya, di antaranya, hak untuk memperoleh kehidupan yang layak, hak untuk mendapat lingkungan yang aman dan nyaman, hak atas kesehatan, serta hak atas bebas dari rasa takut.

Selama tiga tahun para WTB telah hidup dan tinggal di hunian-hunian sementara (huntara). Kini, sebagai akibat dari kegagalan pemerintah, mereka pun terpaksa harus tetap tinggal di huntara-huntara yang kondisinya sudah tidak lagi layak huni. Sebagian dari mereka bahkan sudah tidak memiliki tempat tinggal, hidup terlantar, karena huntara yang mereka tempati sudah dibongkar. WTB bukan saja mengalami dampak buruk atas kesehatan mereka secara fisik. Mereka pun mengalami dampak buruk secara psikis dan emosional, bahkan ada yang telah mengalami gangguan kesehatan mental.

Mengacu pada situasi dan kondisi saat ini, hal yang menyesakkan, sebagian besar WTB yang berhak atas huntap itu kiranya tidak akan mendapatkan hak atas huntapnya dengan segera. Sampai dengan akhir tahun 2022, boleh diduga, sebagaian besar dari mereka masih akan tetap tinggal di huntara-huntara, atau semakin terlantar karena tidak lagi memiliki tempat tinggal.

Semoga saja dugaan itu keliru. Namun, hal yang tidak bisa dipungkiri, pada saat ini ada lebih dari 6.000 KK (sekitar 30.000 jiwa) WTB di Sulawesi Tengah yang sedang terlanggar hak-haknya.***

Tinggalkan Komentar