Pengantar
Proses rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana 28 September 2018 di Sulawesi Tengah sampai saat ini masih terus berlangsung. Penyediaan hunian tetap (huntap) untuk relokasi bagi warga terdampak bencana (WTB) adalah salah satu masalah yang belum tuntas dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Dalam perhitungan awal Kementerian PUPR, huntap yang dibutuhkan secara keseluruhan adalah sebanyak 11.788 unit. Kementerian PUPR merencanakan akan membangun 8.788 unit; sedangkan 3.000 unit sisanya akan dibangun oleh pihak lain.
Untuk penyediaan huntap relokasi di Sulawesi Tengah, Pemerintah Indonesia mengajukan pinjaman kepada Bank Dunia, dengan Kementerian PUPR melalui Direktorat Jendral (Ditjen) Perumahan sebagai pihak pelaksananya.[1]
Dalam perencanaan, penyediaan huntap akan dilakukan dalam dua tahap:
- Tahap 1, sebagai tahap transisi atau pendahuluan, dilakukan lewat National Slum Upgrading Project—Contingency Emergency Response Component (NSUP—CERC) dengan anggaran sebesar US$ 100 juta. Pada Tahap 1 ini, rencana akan dibangun sekitar 1.600 unit hunian tetap.
- Tahap 2, pengerjaan akan dilakukan lewat Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP). CSRRP bertujuan untuk melakukan rekonstruksi dan memperkuat fasilitas publik dan perumahan yang lebih aman di daerah yang terdampak bencana. Dana pinjaman dari Bank Dunia untuk CSRRP adalah sebesar US$ 150 juta. Pada Tahap 2, rencananya akan dibangun 7.188 unit hunian tetap.
Memasuki tiga tahun pascabencana, sampai dengan pertengahan September, penyediaan huntap relokasi bagi WTB baru sebagian kecil yang terpenuhi. Dari rencana 11.788 unit huntap rekolasi yang dibutuhkan, baru sekitar 3.272 unit yang telah tersedia. Ada lebih dari 6.000 KK WTB di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala yang sampai saat ini masih belum memiliki kejelasan dan kepastian akan huntap yang menjadi hak mereka.
Kementerian PUPR sendiri sejauh ini baru bisa menyelesaikan 630 unit: 230 unit di Duyu, Kota Palu dan 400 unit di Pombewe, Kabupaten Sigi. Padahal, Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana telah memandatkan, bantuan dan penyediaan huntap (perumahan) bagi WTB sudah harus diselesaikan dalam waktu kurang dari 2,5 tahun.
SKP-HAM Sulteng, didukung oleh Bank Information Center (BIC), secara intensif melakukan monitoring terhadap penyediaan huntap bagi warga terdampak bencana. Proses monitoring dikhususkan pada proyek penyediaan huntap dilaksanakan oleh Kementrian PUPR lewat NSUP-CERC dan CSRRP yang pendanaannya berasal dari Bank Dunia.
Proses monitoring telah dilakukan sejak Januari 2020. Sejauh ini, Tim Monioring SKP-HAM Sulteng sudah menerbitkan sejumlah catatan dan laporan. Laporan ini adalah laporan lanjutan untuk melengkapi laporan hasil monitoring periode Januari s.d. September 2020 yang telah diterbitkan sebelumnya.[2]
Di dalam laporan hasil monitoring sebelumnya, ada lima isu yang kami soroti dan menjadi temuan kunci menyangkut pelaksanaan NSUP-CERC dan CSRRP. Kelima temuan kunci itu adalah (1) sebagai sebuah kebijakan, Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Framework, ESF) Bank Dunia hanya mengikat secara “normatif” terhadap negara peminjam; (2) berbagai dokumen utama yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proyek belum sepenuhnya lengkap dan selesai; (3) lemahnya koordinasi dan keterlibatan pemerintah daerah; (4) minimnya peran dan partisipasi masyarakat; dan (5) kurangnya perhatian terhadap isu gender, anak, dan penyandang disabilitas.
Sejauh pemantauan kami dari Oktober 2020 s.d. September 2021, kelima isu tersebut ternyata masih tetap mengemuka sebagai isu penting yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam pelaksaan proyek ini. Kecuali menyangkut keterlibatan pemerintah daerah yang kini sudah mulai menunjukkan adanya sedikit kemajuan dan proses rembug warga di sejumlah lokasi pembangunan huntap yang sudah mulai difasilitasi, berbagai hal lainnya masih belum menampakkan adanya perubahan yang berarti.
Dalam proses monitoring kali ini, kami menemukan tiga isu tambahan yang penting untuk dikemukakan. Ketiga isu itu adalah (1) NSUP-CERC dan CSRRP berjalan sangat lambat; (2) munculnya dampak buruk sebagai konsekuensi dari proyek yang berjalan sangat lambat; dan (3) Bank Dunia gagal menegakkan kebijakan dan aturan yang dibuatnya sendiri.
Kami akan memaparkan ketiga isu tersebut pada bagian Temuan Kunci laporan ini.
* * *
Temuan Kunci
NSUP-CERC dan CSRRP Berjalan Sangat Lambat
Kementerian PUPR memulai pengerjaan NSUP-CERC setelah disepakatinya adendum dengan Bank Dunia untuk realokasi pinjaman pada Oktober 2019. Pembangunan huntap Tahap 1A, mulai dilakukan pada Januari 2020. Huntap yang akan dibangun sebanyak 630 unit di dua lokasi: 230 unit di Duyu, Kota Palu dan 400 unit di Pombewe, Kabupaten Sigi. Namun, setelah dua tahun proyek berjalan, Kementerian PUPR baru bisa menyelesaikan 630 unit huntap Tahap 1A-CERC di dua lokasi itu saja. Kelengkapan fasilitas umum dan fasilitas sosial di kedua lokasi pembangunan huntap sampai saat ini masih belum sepenuhnya bisa dikatakan selesai.
Secara kontraktual, pembangunan huntap di Tahap 1A seharusnya selesai dalam enam bulan, terhitung dari Januari 2020 s.d. awal Juli 2020. Kenyataannya, penyelesaian pembangunan huntap Tahap 1A molor dan baru selesai pada Maret 2021. Ini berarti mengalami keterlambatan lebih dari 8 bulan! Jika dihitung secara keseluruhan, Kementerian PUPR membutuhkan waktu lebih dari 14 bulan untuk menyelesaikan pembangunan 630 unit huntap di kedua lokasi itu.
Potensi keterlambatan pun mengintai pembangunan huntap di Tahap 1B-CERC yang kini masih berlangsung. Tahap 1B berencana akan membangun 1.005 unit. Pembangunan huntap yang sekarang sedang dikerjakan hanya 976 unit di 10 lokasi huntap satelit dan, 45 unit di antaranya, huntap mandiri.
Pembangunan Tahap 1B sudah dimulai dari Oktober 2020, dengan waktu pelaksanaan dijadwalkan 264 hari kalender. Kementrian PUPR sempat menjanjikan, akan ada 700 unit huntap di Tahap 1B yang selesai pada akhir Juni 2021, dan keseluruhan pekerjaan huntap Tahap 1B akan bisa rampung pada pertengahan Desember 2021.[3]
Pembangunan huntap memang berjalan sangat lamban (berjalan merayap!). Sampai dengan pertengahan September 2021, setelah 11 bulan pengerjaan, belum ada satu unit huntap pun di Tahap 1B yang siap huni. PT Waskita, selaku kontraktor, menyebut bahwa progres pembangunan huntap Tahap 1B di lokasi huntap satelit Ganti dan Tanjung Padang, Kabupaten Donggala, misalnya, baru mencapai 60%.[4] Penyelesaian huntap secara keseluruhan di Tahap 1B yang ditargetkan Desember 2021 berpotensi mengalami keterlambatan.
Pandemi Covid-19 memang menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada terjadinya keterlambatan. Akan tetapi, dari awal pandemi muncul, Kementerian PUPR merasa yakin bahwa mereka akan bisa menyelesaikan huntap sesuai dengan rencana.[5] Di luar hal itu, dalam proses pelaksanaan pembangunan huntap yang dibiayai CERC (Tahap 1A dan 1B), sudah tidak ada persoalan yang terkait dengan lahan sebagaimana yang menjadi persoalan dasar untuk pembangunan huntap Tahap 2 (CSRRP). Sebelum pembangunan huntap Tahap 1A dan 1B dilakukan, lahan sudah dipastikan clean and clear!

Papan informasi proyek pembangunan huntap Kementrian PUPR Tahap 1A-CERC. Pembangunan huntap Tahap 1A mengalami keterlambatan luar biasa. Pelaksanaannya molor sampai 14 bulan! Sejauh ini, tidak ada pihak yang (berani) meminta pertanggungjawaban Kementrian PUPR atas keterlambatan tersebut. (Foto: Fauzy Ahmad/Tim Monitoring)
Dalam pandangan kami, keterlambatan pembangunan huntap yang dibiayai CERC, baik di Tahap 1A maupun di Tahap 1B, semata-mata lebih dikarenakan ketidakcakapan Kementerian PUPR dalam mengelola proyek. Keterlambatan pembangunan huntap di Tahap 1A sepertinya tidak menggugah Kementerian PUPR untuk segera melakukan kaji ulang dan evaluasi. Alih-alih menjadikan keterlambatan di Tahap 1A sebagai bahan pembelajaran, Kementerian PUPR justru mengulangi hal yang sama dalam pelaksanaan pembangunan huntap di Tahap 1B.
Sayangnya tidak ada pihak yang secara tegas menegur, mendesak, dan mengevaluasi kinerja Kementerian PUPR untuk bisa secepatnya menyelesaikan pembangunan huntap. Begitupun, tidak ada pihak-pihak yang meminta pertanggungjawaban dari Kementrian PUPR sebagai pelaksana proyek atas keterlambatan pembangunan huntap tersebut. Bank Dunia pun seolah mengabaikan keterlambatan ini. Bagi Bank Dunia proyek penyediaan huntap yang dibiayai dari pinjamannya itu tampak berjalan baik-baik saja!
Bank Dunia, dalam sebuah laporan yang dirilisnya, sebenarnya mengakui bahwa progres untuk proyek penyediaan huntap ini lebih lambat dari yang diharapkan. Namun demikian, dalam laporan yang sama, Bank Dunia justru memberi penilaian “cukup memuaskan” untuk progres implementasi proyek secara keseluruhan. [6]

Site-plan Huntap Talise, kapasitas 707 unit, di lahan seluas 46,81 ha.. Dari awal proses penyiapan lahan, lokasi huntap ini adalah salah satu yang tidak berstatus clean and clear. Sejumlah warga memiliki klaim atas hak kepemilikan lahan di lokasi itu. Kementerian PUPR kemudian menggunakan cara paksa yang refresif, yang sesungguhnya tidak disarankan karena melanggar aturan, ketika melakukan pembersihan lahan di lokasi tersebut. (Gambar: Kementerian PUPR, Dokumen UKL-UPL Huntap Kawasan Talise, Palu)
Hal yang perlu digarisbawahi, CERC tidaklah ditujukan sebagai proyek panjang. Sebagaimana yang tercantum dalam Adendum untuk CERC per 13 Oktober 2019, tujuan dari CERC adalah untuk mendukung kegiatan prioritas langsung (kurang dari 26 bulan).[7] Mengacu pada janji dan pernyataan Kementerian PUPR bahwa pengerjaan keseluruhan di Tahap 1B-CERC akan selesai pada Desember 2021, maka CERC sesungguhnya dapat dikatakan “telah gagal” mencapai tujuannya.
Progres yang lambat tidak hanya terjadi di Tahap 1-CERC. Pembangunan huntap Tahap 2-CSRRP pun kurang lebih menunjukkan gelagat yang sama. Tahap 2-CSRRP, merujuk pada rencana awal, masih harus membangun sekitar 7.000 unit. Untuk huntap kawasan, sampai saat ini prosesnya baru sebatas pembersihan dan pengembangan lahan di lokasi Tondo II dan Talise. Di tahap awal, proses pembersihan dan pengembangan lahan di kedua lokasi itu menuai sejumlah permasalahan, dan bahkan bisa dipandang telah melanggar mekanisme, prosedur, dan aturan yang telah ditetapkan.
Meskipun dokumen LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) dan dokumen upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) masih belum selesai, pembangunan huntap di lokasi Tondo II dan Talise dikabarkan akan dilakukan pada Oktober 2021 mendatang. Pembangunan huntap mandiri dan huntap satelit yang, sedikitnya, tersebar di 4 lokasi sampai saat ini masih dalam tahap proses lelang. Belum ada kepastian kapan proses pembangunannya akan dilaksanakan.
Penambahan lokasi huntap baru bagi WTB Petobo yang dipersiapkan oleh Pemkot Palu, masih dalam tahap proses persiapan lahan. Lokasi huntap ini pun sepertinya akan menjadi bagian dari CSRRP. Masih sulit untuk dipastikan, kapan pembangunan huntap di lokasi baru itu pun akan dilaksanakan. Hal yang harus diingat, sebelum melakukan pembangunan huntap di lokasi ini, Kementerian PUPR masih harus melakukan kajian kelayakan lahan, membuat dokumen LARAP dan UKL-UPL, mendapatkan persetujuan (no objection letter, NOL) dari Bank Dunia, merancang site-plan, dan melakukan pembersihan dan pengembangan lahan, serta membuka lelang untuk kontraktor yang akan membangun huntap. Untuk hal ini, prosesnya akan memakan waktu yang relatif cukup lama. Dengan demikian WTB Petobo yang memilih huntap di lokasi ini sepertinya harus siap bersabar untuk menunggu lebih lama.
Merujuk pada proses pembangunan 630 unit huntap di Tahap 1A yang membutuhkan waktu lebih dari 14 bulan dan pembangunan 976 unit huntap di Tahap 1B yang setidaknya akan membutuhkan waktu 14 bulan penyelesaian, pertanyaannya kemudian, akan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun sekitar 7.000 unit huntap di Tahap 2? Pertanyaan ini perlu segera dijawab agar WTB bisa segera pula memiliki kepastian kapan mereka akan bisa mendapatkan huntap yang menjadi hak mereka.
Dampak Buruk Akibat Hunian Tetap yang Lambat Tersedia
Lambatnya Kementerian PUPR dalam proses penyediaan dan pembangunan huntap telah menimbulkan sejumlah dampak buruk. Kami mencatat, setidaknya ada tiga hal yang telah dan berpotensi akan muncul sebagai dampak buruk dari keterlambatan tersebut.
Para WTB mengalami gangguan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun psikis
Para WTB adalah pihak yang paling terdampak dari keterlambatan penyediaan huntap. Tiga tahun pascabencana, masih ada begitu banyak WTB yang tinggal di hunian-hunian sementara (huntara). Tidak sedikit pula WTB yang kini telah kehilangan tempat tinggal karena huntara mereka sudah dibongkar.
Para WTB sudah tinggal di huntara lebih dari dua tahun. Sebagian besar huntara yang mereka tempati itupun kondisinya sudah tidak lagi layak huni. Kondisi demikian membuat para WTB menjadi semakin rentan untuk mengalami gangguan kesehatan.
Kerentanan para WTB tidak hanya terhadap gangguan kesehatan secara fisikal. Mereka pun rentan mengalami gangguan psikis. Merujuk pada hasil asesmen yang dilakukan oleh Sejenak Hening, lembaga yang bekerja di bidang kesehatan mental, pada saat ini sebagian WTB sudah menunjukkan gejala mengalami ketidakstabilan emosional. WTB di Petobo yang masih tinggal di huntara-huntara, misalnya, 41% terindikasi mengalami masalah kecemasan dan 37% di antaranya sudah terindikasi mengalami depresi ringan hingga sedang. Jika segera tidak ditangani, pada tahap selanjutnya, para WTB akan sangat berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental.
Berpotensi Memicu Konflik Sosial
Para WTB dihantui rasa cemas dan takut, huntara mereka sewaktu-waktu bisa segera dibongkar karena lahan yang digunakan untuk huntara sudah habis masa sewanya. Mereka pun memendam rasa kesal, kecewa, dan marah. Mereka bukan saja kesal, kecewa, dan marah kepada pemerintah yang dipandang selama ini hanya memberi janji. Sangat mungkin mereka akan melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan kemarahannya kepada para pemilik lahan huntara yang kini berniat untuk mengambil kembali lahannya.
Para pemilik lahan huntara memang masih ada yang mau meminjamkan lahannya untuk tetap digunakan sebagai lokasi huntara sampai dengan para WTB mendapatkan huntap mereka. Ini terjadi di Tompe, Kabupaten Donggala, misalnya. Namun, di tempat lain, huntara-huntara yang masih ditempati WTB ternyata harus dibongkar secara paksa. Kasus seperti ini terjadi di Dongkala Kodi, Kota Palu. Kasus lain, ada pemilik lahan huntara yang ingin meminta kembali lahannya, namun ditolak oleh WTB yang masih tinggal di huntara tersebut.

Unjuk rasa penyintas bencana Loli Raya, Donggala, pada 27 September 2021, yang berbuah ditangkapnya lima warga pengunjuk rasa. Di hari yang sama, warga penyintas bencana Kota Palu pun berunjuk rasa di saat Kota Palu sedang menggelar perayaan HUT Kota Palu ke-43. Lambatnya penyediaan huntap menjadi pemicu dari unjuk rasa yang dilakukan. (Foto: mediasulawesi.id)
Kekecewaan dan kemarahan WTB rasanya bisa dimengerti. Pertama, jika huntara dibongkar, mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal. Mereka akan menjadi “tunawisma”. Kedua, mereka telah menunggu begitu lama untuk mendapatkan huntap yang menjadi hak mereka, tetapi yang mereka dapat selama ini hanyalah janji. Ketiga, para WTB kini bukan saja menjadi korban bencana. Oleh karena hak-hak mereka pun telah diabaikan dan dilanggar, mereka sudah bisa dikategorikan sebagai korban berlapis: sudah korban, menjadi korban lagi.
Hal yang paling tidak diharapkan, kekecewaan dan kemarahan para WTB kemudian diekspresikan dengan tindak kekerasan. Sejauh ini, memang belum ada tindak kekerasan yang mengarah pada adanya konflik sosial. Para WTB baru sebatas melakukan unjuk rasa untuk menuntut hak-hak mereka. Sudah berkali-kali mereka berunjuk rasa. Pada unjuk rasa terakhir, 27 September 2021, lima orang ditangkap polisi dan mereka harus mendekam sehari dalam tahanan.
Situasi ini yang perlu mendapatkan perhatian serius dan perlu dimitigasi. Jika pemerintah tidak segera menepati janji-janjinya dan tidak bisa memberi kepastian kapan huntap untuk para WTB akan tersedia, konflik sosial dan dampak buruk yang lebih serius akan sangat mungkin terjadi.
Berpotensi terjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Sebagai pemangku kewajiban yang bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak warganya, pemerintah daerah bisa dipandang telah gagal untuk melaksanakan mandat Pergub Sulteng No.10/2019 yang mengamanatkan harus menyediakan huntap bagi para WTB dalam waktu kurang dari 2,5 tahun. Kegagalan melaksanakan mandat ini berpotensi lebih lanjut terhadap adanya pelanggaran hak asasi manusia (pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya).
Prinsip hak asasi manusia menyebutkan, pemenuhan/pelanggaran terhadap satu hak akan saling terkait dan saling bergantung kepada pemenuhan/pelanggaran hak-hak lainnya. Pada konteks tidak terpenuhinya huntap untuk para WTB, pemerintah bukan saja telah melanggar hak warga untuk mendapatkan perumahan yang layak. Lebih dari itu, pemerintah pun akan berpotensi melanggar, di antaranya, hak atas penghidupan yang layak, hak atas lingkungan yang aman dan nyaman, serta hak atas kesehatan.
Oleh karena itu, pemerintah daerah (baik provinsi maupun kota/kabupaten) harus segera pula mencari solusi untuk mengatasi masalah ini. Mereka tidak bisa membiarkan para WTB hidup di huntara-huntara dalam keadaan memprihatinkan, terlebih bagi para WTB yang kini sudah tidak memiliki tempat tinggal, yang mungkin sudah telantar dan terlunta-lunta. Sekecil apapun itu, pemerintah daerah harus mengupayakan pemenuhan jaminan kelayakan hidup bagi para WTB, sekurang-kurangnya agar para WTB bisa hidup secara lebih layak dan tidak terlantar.
Sementara itu, oleh karena seluruh WTB yang berhak atas huntap adalah penerima manfaat dari NSUP-CERC dan CSRRP, Kementerian PUPR pun harus turut bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari kelambanan dan keterlambatan yang mereka lakukan. Kementerian PUPR, bersama pemerintah daerah, harus memikul tanggung jawab secara tanggung renteng untuk memenuhi hak-hak WTB akibat janji yang tidak dipenuhi tepat waktu.[8]
Bank Dunia Gagal Menegakkan Kebijakan dan Aturannya Sendiri
Pada 1 Oktober 2018, Bank Dunia mulai efektif memberlakukan Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Framework, ESF) untuk menggantikan Safeguard Policies. Bank Dunia mengampanyekan ESF sebagai visi untuk pembangunan berkelanjutan. Tujuan ESF adalah untuk memastikan bahwa masyarakat dan lingkungan akan terlindungi dari berbagai potensi dampak buruk yang diakibatkan oleh proyek-proyek yang dibiayainya.
Bank Dunia mewajibkan setiap negara peminjam untuk mematuhi ESF dalam setiap proyek yang mereka biayai. ESF tercantum dalam perjanjian sebagai salah satu yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh negara peminjam. Ketentuan ESF kemudian dituangkan oleh negara peminjam di dalam dokumen Rencana Komitmen Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Commitment Plan, ESCP), yang disusun selaras dengan sepuluh Standar Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Standards, ESS) yang telah ditetapkan Bank Dunia.
Di dalam temuan kunci laporan hasil monitoring sebelumnya, kami telah mengemukakan bahwa pemenuhan dan pelaksanaan ESF Bank Dunia, sepertinya, hanya berlaku di tingkat “normatif”. Dalam konteks perjanjian pinjaman CSRRP antara Bank Dunia dengan Pemerintah Indonesia, misalnya, tidak ada klausul terkait dengan sanksi atau penalti jika Pemerintah Indonesia, sebagai negara peminjam, tidak mematuhi dan tidak melaksanakan berbagai ketentuan yang tercantum di dalam ESF.
Dengan demikian, seideal apapun negara peminjam menyusun dokumen ESCP yang selaras dengan ESF, rencana komitmen itu pada akhirnya berpeluang untuk tidak diimplementasikan. Konsekuensi lanjutannya, ESF pun akan menjadi kehilangan semangat dan tujuannya karena tidak bisa menjamin dan memastikan proyek akan terhindar dari adanya penyimpangan, dampak buruk, dan, bahkan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dari hasil pantauan kami selama proyek NSUP-CERC dan CSRRP berlangsung, adanya pengabaian terhadap berbagai kebijakan dan aturan semakin kentara. Kementerian PUPR dalam melaksanakan proyek ini jauh dari kata patuh untuk melaksanakan amanat ESF dan ESS. Rencana komitmen sebagaimana yang dituangkan Kementerian PUPR dalam ESCP sebagian tidak dilaksanakan. Terkait dengan keterseduaan berbagai dokumen pendukung, misalnya. Dokumen LARAP, dokumen UKL-UPL, mekanisme pengaduan (Feedback and Grievance Redress Mechanism, FGRM), serta panduan untuk mengimplementasikan Strategi dan Rencana Aksi untuk GBV/SEA dan VAC) yang disyaratkan karena akan menjadi panduan untuk melaksanakan proyek, kerap terlambat atau tidak kunjung segera disusun.
Sejauh ini, kami tidak menerima respon yang tegas dan bernas dari Bank Dunia ketika kami mencoba untuk mendesakkan secara langsung terkait dengan kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap kebijakan dan aturan.[9] Bank Dunia pun terkesan berkelit ketika diminta untuk memastikan berbagai komitmen penting yang wajib dilaksanakan agar bisa segera terimplementasi. Implementasi untuk strategi dan rencana aksi GBV/SEA dan VAC, misalnya. Setelah dua tahun proyek berjalan, belum ada langkah konkret untuk mengimplementasikan strategi dan rencana aksi GBV/SEA dan VAC. Padahal, Bank Dunia di atas kertas memberi perhatian penuh dan khusus terkait dengan gender, GBV/SEA dan VAC. Dari sepuluh ESS yang dimiliki Bank Dunia, Bank Dunia memberi catatan panduan terkait konteks gender di enam ESS, yaitu di ESS 1, ESS 2, ESS 4, ESS 5, ESS 7, dan ESS 10. Secara khusus, Bank Dunia juga telah menyusun strategi gender untuk periode 2016—2023. Begitupun halnya dengan konsep akses universal dan desain inklusif: belum ada yang diterapkan di lokasi pembangunan huntap.
Bank Dunia memberi respon yang kurang-lebih sama dalam menyikapi kasus pembersihan lahan huntap di lokasi Talise-Valangguni, Kota Palu, yang prosesnya jelas-jelas melanggar kebijakan dan aturan karena dilakukan dengan cara paksa dan refresif. Kementerian PUPR tidak saja telah melanggar kebijakan dan aturan Bank Dunia, sebagaimana yang tercantum dalam ESF, ESS, ESCP, Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Management Framework, ESMF) NSUP, ESMF CSRRP.
Lebih dari itu, Kementerian PUPR pun telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang juga menjadi rujukan kebijakan untuk pelaksanaan NSUP-CERC dan CSRRP.
Pada kasus pembersihan lahan huntap di lokasi Talise-Valangguni, Bank Dunia tidak mengambil langkah dan tindakan; atau, sekurang-kurangnya, memberi rekomendasi kepada Kementerian PUPR untuk penyelesaiannya. Bank Dunia tampak berkelit, cenderung mengabaikan dan membiarkan, meskipun pelanggaran terang-benderang telah terjadi.[10]
Begitupun halnya dengan progres Kementerian PUPR yang begitu lambat dalam menyediakan huntap. Bank Dunia, dalam sebuah laporan yang dirilisnya, justru memberi penilaian “cukup memuaskan” untuk progres implementasi proyek secara keseluruhan, meskipun mereka mengakui progres untuk proyek penyediaan huntap ini lebih lambat dari yang diharapkan. Bagi kami, penilaian yang diberikan oleh Bank Dunia tersebut bukan saja menunjukkan bahwa Bank Dunia memiliki ekspektasi yang rendah untuk proyek ini.[11] Lebih dari itu, Bank Dunia telah mengabaikan munculnya dampak buruk terhadap para WTB yang diakibatkan oleh proyek yang mereka biayai.
Kami sempat mendesakkan secara langsung kepada Bank Dunia menyangkut tanggung jawab pelaksana proyek terhadap para WTB yang kini masih belum mendapatkan huntap, yang hidup kurang layak di huntara, dan sangat mungkin sudah terlantar karena penyediaan huntap lambat tersedia. Sayangnya, pihak Bank Dunia tidak merasa harus turut andil untuk memikul tanggung jawab dan kewajiban tersebut. Bank Dunia pun tidak memberi semacam pertimbangan atau rekomendasi untuk penyelesaian masalah itu.

Andre A. Bald (berbaju biru, paling kanan), Team Leader NSUP-CERC dan CSRRP yang mewakili Bank Dunia, saat datang ke Sulawesi Tengah, akhir Januari 2020 silam. Andre Bald dan timnya sempat datang ke Sekretariat SKP-HAM Sulteng dan berdiskusi dengan Tim Monitoring. Pertemuan dan diskusi kemudian beberapa kali dilakukan secara daring. (Foto: Humas Protokol Setda Pemprov Sulteng)
Sikap yang ditunjukkan Bank Dunia itu boleh dipandang kontradiktif dengan semangat dan tujuan dari ESF yang dikampanyekan sebagai visi untuk pembangunan berkelanjutan dan untuk memastikan agar masyarakat dan lingkungan bisa terlindungi dari potensi dampak buruk yang diakibatkan oleh proyek-proyek yang mereka biayai. Kini, ketika dampak buruk yang diakibatkan oleh NSUP-CERC dan CSRRP sudah membayang di depan mata, Bank Dunia malah berpaling dan cuci tangan.
Dari perspektif kami, penyikapan Bank Dunia terhadap berbagai masalah yang muncul di proyek NSUP-CERC dan CSRRP telah cukup menunjukkan bahwa Bank Dunia tidaklah memandang serius dan sungguh-sungguh untuk memastikan proyek ini bisa terlaksana dengan baik, yang tunduk dan patuh pada berbagai kebijakan dan aturan. Bank Dunia bukan saja hanya “normatif” dalam menerapan syarat ESF terhadap negara peminjam sebagai kebijakan dan aturan. Lebih dari itu, Bank Dunia pun sesungguhnya telah gagal untuk menjalankan dan menegakkan kebijakan dan aturan yang dibuatnya sendiri!
Safeguard policies, ESF, atau apapun itu namanya, seperti hanya dimaksudnya untuk ada, namun tidak menjadi penting implementasinya. Begitupun dengan ungkapan, membangun kembali lebih baik (build back better), lebih aman (build back safer), dan berkelanjutan (sustainable), sebagaimana yang menjadi tujuan dari proyek NSUP-CERC dan CSRRP, hanya ada di atas kertas dan cukup dikumandangkan sebagai jargon kosong yang nyaring bunyinya.
* * *
Rekomendasi
Umum
- Mematuhi semua kebijakan dan aturan yang telah ditetapkan. Untuk memastikan kepatuhan tersebut, cek dan ricek di setiap tahapan proses harus senantiasa dilakukan. Segala bentuk ketidakpatuhan harus segera dikoreksi, dievaluasi, dan dilaporkan. Hal ini tidak saja berlaku untuk Kementrian PUPR sebagai pelaksana proyek, namun ditujukan juga bagi Bank Dunia selaku lembaga keuangan yang memberi pinjaman.
- Memperbaiki kinerja agar lebih efektif dan efesien, serta senantiasa melakukan kaji ulang dan evaluasi. Pembangunan huntap harus bisa dipastikan kapan akan tersedia agar WTB yang berhak atas huntap mendapat kepastian kapan mereka akan menempati huntapnya. Keterlambatan pembangunan huntap sebagaimana yang terjadi di Tahap 1A dan Tahap 1B, bukan saja tidak bisa diterima, namun harus diakui dan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan. Keterlambatan penyediaan huntap hanya akan menghadapkan para WTB pada penantian dan penderitaan yang lebih panjang.
- Memastikan seluruh perencanaan dan pelaksanaan proyek telah berbasis mitigasi bencana yang bertujuan untuk membangun kembali lebih baik (build back better), lebih aman (build back safer), dan berkelanjutan (sustainable). Perencanaan dan pelaksanaan proyek yang ceroboh dan abai untuk mempertimbangkan adanya potensi bencana dan mitigasinya sama sekali tidak bisa diterima. Hal demikian hanya akan menghadapkan WTB penerima huntap kepada kesulitan dan, bahkan, bencana lain di masa mendatang.
- Memastikan semua dokumen proyek yang dibutuhkan tersedia dengan segera, bisa diakses oleh publik dengan mudah sebagai bagian dari keterbukaan informasi, termasuk segera menginformasikan, mensosialisasikan, dan mengonsultasikannya kepada publik agar bisa dipahami dan dijadikan sebagai rujukan bersama.
- Memastikan proses konsultasi publik dan partisipasi masyarakat senantiasa dilakukan di setiap tahapan pelaksanaan proyek dan bisa berlangsung tanpa adanya hambatan. Ruang-ruang dialog yang inklusif harus senantiasa dibuka, dan sekaligus memastikan bahwa masukan masyarakat akan dipertimbangankan dan diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Informasi yang jelas, terperinci, dan mudah diakses oleh masyarakat harus tersedia. Informasi yang disediakan tidak saja informasi-informasi teknis, namun termasuk juga informasi tentang risiko dan dampak proyek, serta tindakan mitigasi dan upaya-upaya penanganannya.
- Perhatian terhadap kelompok rentan yang memiliki kebutuhan khusus dan berbagai isu di seputarnya harus diutamakan dan direncanakan sebaik-baiknya, termasuk segera mengintegrasikan konsep akses universal dan desain inklusif. Perencanaannya tidak hanya didasarkan pada kebutuhan saat ini, namun harus memperhitungkan kebutuhan untuk masa mendatang.
- Kelompok perempuan dan anak, yang memiliki potensi dan risiko tinggi mengalami GBV/SEA dan VAC, harus dipastikan terhindar dan aman dari dampak buruk proyek. Oleh karena itu, perlu untuk segera mengimplementasikan strategi dan rencana aksi untuk mitigasi dan penanganan GBV/SEA dan VAC.
- Mitigasi risiko GBV/SEA dan VAC harus dilakukan secara proaktif dengan melakukan penjangkauan, pendampingan, dan pemantauan di wilayah-wilayah proyek secara terus-menerus dan berkesinambungan. Kerja sama dengan berbagai lembaga yang relevan, baik lembaga pemerintah maupun CSO, dan individu-individu yang memilki kompetensi dan keahlian menjadi mutlak diperlukan. Ketersediaan mekanisme rujukan dan layanan yang mudah dijangkau dan memadai, serta memiliki kesiapan dan kemampuan untuk menangani mereka yang mengalami GBV/SEA dan VAC secara tepat dan komprehensif, harus diprioritaskan.
- Melengkapi mekanisme umpan balik dan pengaduan/keluhan (FGRM) yang sudah ada saat ini. FGRM harus terinformasikan dengan baik kepada, serta bisa diakses dengan mudah oleh, semua masyarakat, terutama kepada dan oleh WTB dan WTP. Setiap umpan balik dan laporan pengaduan/keluhan harus dipastikan segera mendapatkan tanggapan dan penanganan secara layak dan efektif, serta bisa memberikan kejelasan dan kepastian penyelesaiannya.
- Khusus FGRM untuk GBV/SEA dan VAC, selain harus ditangani dengan segera dan dibuat terpisah dari FGRM lainnya, protokol pengaduan dan penanganannya perlu dikaji ulang dengan memetakan kembali pihak-pihak yang akan terlibat dalam penanganan serta mengintegrasikannya dengan lembaga rujukan dan layanan yang tersedia. Oleh karena itu, perlu pula untuk menyediakan sumber daya, individu atau tim, yang secara khusus menangani hal ini.
Khusus
- Membentuk Unit Kerja Khusus Percepatan Penyediaan Hunian Tetap di Tingkat Provinsi. Masalah yang terkait dengan penyediaan huntap tidak hanya soal lahan, namun juga (di antaranya) akan berkelindan dengan soal-soal pendataan, keperdataan, administrasi kependudukan, ketenagakerjaan, pengarusutamaan gender, penguatan kelompok rentan, dan pascahuni. Ini butuh perhatian khusus dan kerja bersama secara intensif dari banyak pihak. Pada konteks ini, Pemerintah Provinsi Sulteng perlu proaktif mengambil peran dan kewenangan untuk memimpin, memfasilitasi, mengoordinasikan, dan mengolaborasikan kerja-kerja yang dilakukan oleh berbagai pihak itu agar bisa mempercepat pelaksanaan program penyediaan huntap dan meminimalisir munculnya berbagai permasalahan lain di kemudian hari. Unit kerja ini pula yang akan memantau kinerja Kementrian PUPR sebagai pelaksana proyek NSUP-CERC dan CSRRP.
- Pemerintah daerah dan Kementerian PUPR harus segera menunaikan kewajibannya, yaitu memikul tanggung jawab bersama secara tanggung renteng untuk memastikan para WTB yang berhak atas huntap, baik yang kini masih tinggal di huntara-huntara maupun yang sudah tidak memiliki tempat tinggal, mendapatkan pemenuhan jaminan kelayakan hidup, sekurang-kurangnya agar para WTB itu bisa hidup secara lebih layak dan tidak terlantar.
- Bank Dunia harus segera mengambil tindakan akurat dan langkah-langkah konkret—tidak lantas berpaling dan cuci tangan—untuk memitigasi dan mengatasi kemunculan berbagai potensi dampak buruk yang diakibatkan oleh proyek yang mereka biayai.
* * *
Ucapan Terima Kasih
Laporan ini diteliti dan ditulis oleh Moh. Syafari Firdaus, peneliti dan Ketua Tim Monitoring SKP-HAM Sulawesi Tengah untuk Hunian Tetap NSUP- CERC/CSRRP di Sulawesi Tengah. Berbagai data dan informasi lapangan yang tersaji di laporan ini dikumpulkan oleh Nurlaela Lamasitudju, Mohamad Herianto, dan Ahmad Fauzi; serta Adawiyah Lamasitudju, Rahmad Rahayu, dan Dirham sebagai enumerator.
Laporan ini ditinjau oleh Dicky Pelupessy, Ph.D., Koordinator Peminatan Intervensi Sosial, Magister Psikologi Terapan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; serta Sofia Dinn, Asisten Program Bank Information Center (BIC). Laporan ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Yunita Lianingtyas.
SKP-HAM Sulawesi Tengah dan Tim Monitoring mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik individu maupun organisasi, yang telah turut terlibat dalam proses monitoring dan penyusunan laporan ini. Secara khusus, SKP-HAM Sulteng ingin mengucapkan terima kasih kepada masyarakat terdampak bencana dan masyarakat terdampak proyek yang telah berbagi informasi dan menyampaikan berbagai laporan sekaitan dengan proses penyediaan hunian tetap, khususnya yang sedang dilaksanakan oleh Kementrian PUPR.
SKP-HAM Sulteng pun berterima kasih kepada para jurnalis, fotografer, editor, dan media yang telah meliput dan memuat berbagai pemberitaan mengenai proyek pelaksanaan penyediaan hunian tetap untuk korban bencana di Sulawesi Tengah. Tim Monitoring mendapatkan banyak pengayaan dari hasil liputan dan pemuatan berita-berita itu.
SKP-HAM Sulteng dan Tim Monitoring pun menyampaikan penghargaan kepada Bank Dunia, Kementrian PUPR (berserta segenap timnya yang berada di bawah NSUP-CERC/CSRRP), dan pemerintah daerah yang telah memberi tanggapan positif terhadap proses monitoring yang kami lakukan. Kami sangat menghargai keterbukaan yang telah ditunjukkan oleh berbagai pihak selama berlangsungnya proses monitoring ini.
Terakhir, SKP-HAM Sulteng mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik individu maupun lembaga, yang—dari masa tanggap darurat bencana sampai proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana—telah mendedikasikan diri dan lembaganya untuk membantu proses penanganan bencana 28 September 2018 di Sulawesi Tengah. Masyakarat tanah Kaili ini percaya, “belo raelo belo rakava, belo raporia belo rakava”, jika kebaikan yang dicari, maka kebaikan juga yang akan diperoleh; dan perbuatan baik, akan dibalas dengan kebaikan pula.
* * *
Catatan Akhir
[1] Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah, Kementrian PUPR tidak hanya menjadi pelaksana pembangunan huntap yang didanai Bank Dunia lewat NSUP-CERC (US$ 100 juta) dan CSRRP (US$ 150 juta) dan perbaikan jalan lewat WINRIP (US$25 juta). Kementrian PUPR menjadi pelaksana proyek Rekonstruksi Infrastruktur Sulteng (IRSL) yang didanai JICA (JPN¥ 27,97 miliar) dan proyek Emergency Assistance for Rehabilitation and Reconstruction (EARR) yang dibiayai Asian Development Bank (ADB) sebesar US$ 279,75 juta. Semua dana yang digunakan itu adalah utang. Secara keseluruhan, pendanaan lewat skema utang yang dikelola Kementrian PUPR untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah sekitar US$ 805 juta atau tidak kurang dari Rp 11,27 triliun.
[2] Seluruh catatan dan laporan monitoring bisa diakses di situs kami: https://monitoring.skp-ham.org/category/laporan-pemantauan/. Laporan monitoring periode Januari s.d. September 2020 bisa dibaca dan diunduh di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=3300 (tautan unduh versi Inggris); dan https://monitoring.skp-ham.org/?p=3218 (tautan unduh versi Indonesia).
[3] Sebagaimana yang disampaikan oleh Rezki Agung, Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu (SNVT) Penyediaan Perumahan Sulteng, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas pembangunan huntap di Sulteng. Beritanya dibaca di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=3786.
[4] Jika dalam 11 bulan mereka baru bisa menyelesaikan 60%, dengan kalkulasi sederhana, dibutuhkan waktu kurang lebih 7 bulan lagi untuk menyelesaikan keseluruhannya. Dengan melihat progres yang berlangsung saat ini, dugaan kami, pengerjaan huntap Tahap 1B (CERC) baru akan selesai seluruhnya pada April 2022.
[5] Pernyataan-pernyataan Kementrian PUPR terkait hal tersebut bisa disimak di tautan berita berikut ini: https://monitoring.skp-ham.org/?p=2314 dan https://monitoring.skp-ham.org/?p=2309
[6] Laporan yang dimaksud adalah Implementation Status and Result Report (ISR), dikeluarkan oleh Bank Dunia pada 4 Juni 2021. Dokumen ISR bisa dibaca di tautan berikut ini:
[7] Lih. CERC-EROM, Annex 4, par. 4, hal. 45.
[8] Untuk Kementerian PUPR, ada celah yang mungkin bisa diupayakan untuk turut memikul tanggung jawab atas keterlambatan mereka menyediakan huntap. Butir 7 dokumen ESCP menyebut, “Dalam hal terjadinya perubahan proyek, keadaan tidak terduga, atau hasil penilaian kinerja yang mengakibatkan perubahan lebih lanjut pada risiko dan dampak pelaksanaan; Pemerintah Indonesia akan menyediakan dana tambahan jika diperlukan, untuk mengatasi risiko dan dampak dimaksud.” Pertanyaan pentingnya, apakah Kementerian PUPR mau menempuh upaya itu atau tidak?
[9] Tim Monitoring bersama BIC beberapa kali melakukan pertemuan daring bersama Tim NSUP-CERC dan CSRRP dari Bank Dunia yang dipimpin Andre A. Bald. Pertemuan daring di antaranya dilakukan pada 25 Juni 2020, 18 November 2020, dan 17 Juni 2021. Sebagai Team Leader NSUP-CERC dan CSRRP, Andre Bald terakhir kali menjanjikan untuk kembali melakukan pertemuan secara daring dengan Tim Monitoring pada akhir Agustus 2021. Sampai saat ini, pertemuan itu tidak/belum terlaksana, tanpa ada pemberitahuan lebih lanjut kepada kami.
[10] Atas usaha Pemerintah Kota Palu, kasus klaim lahan di lokasi Talise-Valangguni pada saat ini sudah mendapatkan titik terang solusinya. Meskipun demikian, khusus untuk Kementerian PUPR yang melakukan proses pembersihan lahan di lokasi itu, jika merujuk pada dokumen ESMF, baik ESMF NSUP maupun ESMF CSRRP, Kementerian PUPR sesungguhnya masih “berhutang” kepada warga Talise-Valangguni yang kebunnya digusur karena warga sesungguhnya berhak mendapatkan kompensasi berupa ganti rugi tanam tumbuh (GRTT).
[11] Tanggapan kami atas laporan yang dirilis Bank Dunia tersebut bisa dibaca di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/?p=4121 (versi Bahasa Inggris) atau https://monitoring.skp-ham.org/?p=4126 (versi Bahasa Indonesia).