Tinggal di hunian sementara hingga memasuki tahun kelima pascagempa di Palu, Sigi, dan Donggala bukan perkara mudah bagi penyintas. Mereka berharap bisa memulai hidup baru di hunian tetap.
Tahun ini sudah masuk tahun kelima pascagempa dan tsunami yang meluluhlantakkan Palu, Sigi, Donggala, hingga Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, pada 2018. Selama itu, pemerintah dan warga berusaha bangkit di tengah trauma dan sengkarut penanganan pascabencana.
Memasuki tahun kelima dan masih berada di hunian sementara (huntara), terlebih kehilangan pekerjaan dan dirundung berbagai persoalan, tentu bukan perkara mudah. Jika penantian yang lama ini karena menunggu hunian tetap (huntap) selesai dibangun, mungkin masih ada harapan. Namun, sebagian penyintas menanti dalam ketidakpastian.
Endang Puspita (41) adalah penyintas gempa yang hingga kini masih menjadi penghuni huntara. Rumahnya di Kelurahan Petobo, Palu, sebenarnya tak seberapa rusak. Rumahnya adalah satu dari beberapa yang tak terbawa likuefaksi yang melanda kelurahan itu. Hingga kini, rumah itu masih berdiri tegak di antara reruntuhan bangunan yang di atasnya kini dipenuhi belukar.
”Sekarang kalau siang lebih sering istirahat di sini. Memang sudah dilarang, tetapi mau bagaimana lagi. Huntara sesak dan sangat panas, sementara kami sekeluarga banyak. Di sini juga bisa jadi bengkel kerja suami karena dia menjual kayu. Tidak mungkin menggergaji di area huntara,” katanya saat ditemui di kawasan Petobo, Selasa (28/3/2023).
Dia mengatakan, hingga kini masih menunggu kepastian kapan bisa pindah ke huntap. ”Katanya masih dibangun dan belum selesai. Kalaupun selesai nanti, mungkin saya tetap akan sering ke sini karena rumah huntap agak sesak untuk saya dan anak-anak,” ujarnya.
Jika Endang punya harapan untuk menempati huntap, berbeda dengan Nursiah (48). Penyintas asal Desa Mpanau, Kabupaten Sigi, ini masih harus bertahan di huntara tanpa kepastian. Dia mengatakan, sudah pernah tercatat mendapat huntap, bahkan sudah akan pindah.
”Lalu ada yang protes. Katanya saya bukan korban karena rumah yang saya bangun menempel di rumah orangtua saya. Saat didata, rumah saya disebut kandang ayam. Makanya, saya batal dapat huntap. Namun, saya masih coba mengurus, semoga bisa,” katanya.
Di huntara tempat dia menetap saat ini, sebagian penghuni sudah pindah ke huntap. Hanya dia dan puluhan penyintas lainnya yang masih bertahan. Kontrak pemilik lahan dengan pemerintah juga sudah selesai. Untuk tetap tinggal di situ, dia membayar sewa Rp 150.000 per bulan, di luar biaya listrik.
Ketidakpastian juga menjadi milik Roslaini (49) dan Fatmawati (35). Keduanya adalah penghuni huntara Gunung Balet, Kabupaten Donggala. Letak huntara ini hanya beberapa meter di belakang Gedung DPRD dan Kantor Bupati Donggala.
Sebelum menempati huntara ini, keduanya tidur di tenda pengungsian. Mereka berasal dari Tanjung Batu, Donggala. Saat gempa, kawasan permukiman mereka diterjang tsunami. ”Katanya karena sebelum gempa kami hanya tinggal di kontrakan, maka kami tak berhak atas huntap,” ujar Roslaini.
Dia menambahkan, persoalannya sekarang sulit cari kontrakan murah, sementara dirinya tak punya pekerjaan. Suaminya meninggal tahun 2021 karena Covid-19. ”Sekarang saya mengandalkan pendapatan anak saya yang bekerja kontrak dengan gaji Rp 500.000 sebulan,” kata ibu tiga anak ini.
Fatmawati pun sama, tak mendapat huntap karena sebelumnya hanya menempati rumah kos. ”Saya pasrah. Masih diperbolehkan tinggal di sini saja, saya sudah bersyukur. Saya berharap tetap bisa di sini sampai mendapat tempat tinggal,” katanya.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Ma’mun Amir mengatakan, persoalan huntap ini memang pelik dan kompleks. Dia menyebut sengkarut pembenahan pascagempa adalah warisan dari pemerintah sebelumnya yang belum tuntas.
”Sebenarnya ini menjadi urusan setiap daerah, provinsi hanya fasilitator. Namun, peliknya persoalan ini karena sebagian beban diberikan ke daerah, sementara kemampuan keuangan daerah berbeda-beda. Mereka diminta menyiapkan lahan dan pusat hanya membangun. Saya pikir ini menjadi berat bagi daerah,” katanya.
Menurut dia, dengan APBD terbatas di setiap daerah dan banyaknya program yang harus dibiayai, membuat urusan huntap ini belum juga tuntas. Karena keuangan daerah tidak mampu, maka pembangunan huntap terhambat. Sejauh ini Pemprov Sulteng sudah ikut membantu pembebasan lahan.
Ma’mun juga mengkritik sejumlah program yang dibiayai APBN di kabupaten dan kota yang tak melibatkan pemerintah provinsi. Program diserahkan ke balai yang menjadi perpanjangan tangan pusat. Dia mencontohkan pembagunan jalan lingkar di mana daerah diminta menyiapkan dana pendamping pembebasan lahan.
”Kalau harus membebaskan lahan-lahan yang ada rumah besar, rumah mewah, apa APBD mampu? Kalau hanya melihat satu sisi, mungkin bisa, tetapi kita harus lihat bahwa daerah juga mendanai program lain, sepeti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan,” katanya.
Sementara itu, dalam rilis yang dimuat di situs Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada Senin (27/3/2023) disebutkan, pembangunan huntap di Palu, Sigi, dan Donggala terus dikebut.
Kepala Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II Kementerian PUPR Bakhtiar menjelaskan, pembangunan huntap di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala total 5.732 unit. Pembangunan tahap pertama sebanyak 1.679 unit telah selesai pada tahun 2022 dan sudah dihuni oleh masyarakat.
”Saat ini kami tengah melaksanakan pembangunan tahap kedua sebanyak 4.053 unit. Para calon penghuninya juga sudah terverifikasi. Kami targetkan pembangunan tahap kedua ini bisa tuntas seluruhnya pada Desember 2023,” kata Bakhtiar.
Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Sulawesi Tengah juga membangun berbagai infrastruktur permukiman untuk mendukung kawasan huntap. Infrastruktur permukiman yang dibangun antara lain jalan, drainase, ruang terbuka hijau, penerangan jalan umum, sistem pengolahan sampah, pengolahan limbah, serta reservoir untuk penyediaan air.
“Untuk infrastruktur permukiman, ada pekerjaan yang terkontrak hingga Maret 2024. Namun, kami akan melakukan upaya-upaya percepatan agar bisa selesai Desember 2023 bersamaan dengan penyelesaian huntap,” kata Kepala BPPW Sulawesi Tengah Sahabuddin.
Tuntasnya pembangunan huntap menjadi harapan penyintas yang hingga kini masih bertahan menghuni huntara. Menghuni huntap dan memulai hidup baru serta melupakan trauma menjadi mimpi para penyintas yang kian hari kian sesak di huntara.
Editor: MOHAMAD FINAL DAENG
Sumber: Kompas.id