Jalan Panjang Perjuangan Warga Talise Memperjuangkan Tanah Leluhur

174 dilihat

Ditulis oleh

Cerita perjuangan warga Talise mengklaim kembali tanah leluhur mereka telah lama. Melalui jalan panjang dan berkelok. Beragam cara telah dilakukan. Mulai cara lunak seperti negosiasi, aksi persuasif hingga yang agak keras dengan pressure massa. Namun tetap tak membuahkan hasil. Warga tetap dalam posisi kalah. Klaim kepemilikan yang tidak disertai dengan dokumen yang sah, menjadi alasan tuntutan warga dengan sangat mudah dimentahkan oleh pemerintah.

Yang terakhir, eksekusi di atas lahan seluas 46 hektar untuk lokasi pembangunan huntap tiga, warga lagi lagi tak bisa melawan. Mereka hanya memandangi tanaman dan pagar hidup dilindas alat berat. Ludes hanya hitungan menit.

Konflik vertikal, warga Talise versus pemerintah maupun melawan pengusaha yang disulut oleh persoalan kepemilikan lahan bukan hanya kali ini. Tokoh masyarakat Talise Bey Arifin menjelaskan, cerita tentang kekalahan telak orang orang tuanya mempertahankan lahan warisan leluhur mereka sudah sangat panjang. ”Dan sepanjang perlawanan itu kami tak pernah menang. Pasti kalah,” katanya ditemui di lokasi eksekusi lahan Jumat 10 Juli 2020.

ALAT BERAT – Polisi menjaga proses ekseksi (foto: F. Yardin)

Yang diingatnya, mulai pengambilan lahan di Padang Golf di Jalan RE Martadinata, Talise. Disusul lahan di Kampus Universitas Muhamadiyah kini. Berikutnya, kawasan Bukit Jabal Nur, eks STQ. Kekalahan berikutnya lahan yang kini menjadi salah satu kawasan perumahan di Jalan Soekarno Hatta. Sama juga saat, lahan mereka digunakan untuk pembangunan markas Polda Sulteng. Mereka tak berkutik.

Dan terakhir kawasan yang bakal dijadikan perumahan hunian tetap (huntap) tiga, masih di Kelurahan Talise, mereka aku Arifin pun tidak bisa berbuat banyak. Diambil dengan paksa. Dengan menggusuri lahan pertanian milik warga yang sudah dikelola secara turun temurun.

Seorang ibu, bernama Hasti (46), mengaku datang di lokasi saat eksekusi. Ia ingin melihat lahan yang sudah dia kelola bersama orang tuanya untuk terakhir kali. ”Di sini kami pernah bikin pondok untuk kasi makan kambing,” ujar Hasti sambil menunjuk pohon kayu jawa, tempatnya berteduh saat terik menyengat.

Saat ini lahan miliknya sudah dipagari. Sejak gempa tidak lagi menggembala kambing. ”Saya sekarang jualan minuman. Tidak kuat lagi bakukejar dengan kambing,” katanya. Ditanya dokumen kepemilikan, ibu ini tak bisa menjawab.

TANPA AMPUN – alat berat menyeruduk pagar pembatas kebun warga. (Foto: F. Yardin)

Bukti kepemilikan lahan juga disampaikan, warga Talise lainnya, Dahlia S (37). Pada 2011 ibunya mendapatkan pembagian lahan di wilayah lokasi huntap tiga itu. Masing-masing warga Talise mendapat tanah pembagian ukuran 10 x 15 meter persegi. Namun, usia yang makin menua tak sanggup lagi mengurus lahan. Tanah tersebut kini dijual.

Bey Arifin yang runtang rantung bersama warga melakukan negosiasi ke Pemerintah Kota Palu, pun mengaku walau eksekusi lahan berhasil, namun perlawanan itu akan tetap ada. ”Perlawanan dilakukan melalui saluran saluran resmi. Melalui perwakilan di DPRD,” katanya.

Masih menurut Arifin, sejak lama bahkan sejak orang-orang tua mereka masih hidup, keinginan untuk membuat sertifikat atas tanah-tanah itu sudah ada. Namun saat mengajukan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) selalu mentok. SKPT – sebuah dokumen surat tanah yang diterbitkan BPN, untuk menerangkan status yang ditunjuk untuk dilakukan penelitian berdasar data fisik dan yuridisnya.

Penyebabnya, sambung Bey, SKPT tidak bisa terbit di atas lahan yang berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). ”Ini masalah utamanya. Bagaimana ada SKPT kalau tanah itu statusnya HGB),” jelasnya. Namun demikian mereka masih bisa mengolah tanah walau masih berstatus HGB. Bahkan sejak lama, jauh sebelum HGB itu terbit, orang orang tua mereka sudah mengolah tanah-tanah itu untuk penghidupan mereka.

TANAMAN WARGA – Aparat polisi mengawasi proses jalannya eksekusi. (Foto: F. Yardin)

Itulah yang mendasari mereka, saat ditanya kenapa tidak menggugat secara perdata. ”Kalau berperkara pasti kalah. Kami tidak cukup dokumen kepemilikan karena ya itu tadi. Ngurus SKPT saja tidak bisa,” ungkapnya.

Saat bertemu dengan Wali Kota Palu, Hidayat bersama Forkompida, Rabu 8 Juli lalu, Bey Arifin pun mengaku, ia dan teman-temannya kalah jika diadu secara hukum. Karenanya di forum itu, warga di Kelurahan Talise Walangguni itu, memastikan tidak akan menempuh jalur hukum. “Kami akui Pak, kalau diadu secara hukum, kami pasti kalah. Kami tidak punya kekuatan untuk itu,” sebut Bey di forum itu. Lahan yang mereka klaim tersebut sudah diperjuangkan berpuluh-puluh tahun agar bisa terlepas dari penguasaan Hak Guna Bangunan (HGB). Perjuangan bahkan pernah dilakukan oleh orang-orang tua mereka. Karena itu Bei berharap, pada pelepasan HGB kali ini, Pemkot Palu kiranya bisa menyerahkan lahan tersebut kepada warga.

Dan akhirnya seperti yang terjadi pada Sabtu 10 Juli lalu, eksekusi lahan benar-benar terjadi. Negara dengan kapasitas yang full power, TNI, Polisi dan Pol PP dan alat berat sukses merebut lahan. Menggusuri tanaman palawija, merobohkan pagar hidup. Dan warga hanya bisa terdiam kaku menyaksikan ambil alih paksa itu.

WARGA – Hingga magrib warga masih bertahan menyaksikan eksekusi lahan mereka. (Foto: F. Yardin)

ADA UANG KEROHIMAN

Walau demikian pemerintah tak sepenuhnya mengabaikan hak hak warga khususnya terkait soal tanaman di atas tanah yang diambil alih itu. Kepala Balai Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah III, Ferdinan Kana Lo, yang ditemui di lokasi mengatakan, Pemerintah Kota Palu, telah membentuk tim verifikasi dan identifikasi.

Hasil dari tim itu akan diketahui apa saja hak warga yang harus diperhatikan. Khususnya soal tanaman. ”Tapi ingat, itu bukan ganti rugi lahan. Sebab kalau lahan, statusnya tanah negara,” tekannya. Namanya bukan ganti rugi. Tapi uang kerohiman. Kalau uang kerohiman itu berdasarkan kemanisan hati. Ini berarti pemerintah juga tetap memperhatikan jerih payah mereka yang sudah bercocok tanam di atas itu. ”Kalau sifatnya kerohiman, biarlah itu bagiannya kontraktor saja,” ungkapnya sambil berlalu. ***

Penulis: Yardin Hasan

Sumber: Kabar Sulteng Bangkit

Tinggalkan Komentar