Mengapa Ada Penyintas yang Menolak Relokasi?

218 dilihat

Ditulis oleh

PALU — Sudah enam bulan ini, Mare, memilih kembali ke pesisir Mamboro, Kecamatan Palu Utara, berjarak 100 meter saja dari Teluk Palu. Ia mendirikan rumah semi permanen di dekat reruntuhan rumahnya yang ambruk karena tsunami 28 September 2018.

Perempuan 56 tahun itu terpaksa meninggalkan huntara di belakang Terminal Mamboro sejak Mei 2019. Mare tak punya pilhan lain karena ekonominya justru pulih setelah ia kembali bisa mengolah teri kering di dekat pesisir.

Itu juga yang membuatnya gamang untuk menyetujui rencana relokasi dari pemerintah. Mare bersama warga Mamboro Barat lainnya akan dipindahkan ke Hunian Tetap (Huntap) Tondo. Masalahnya, lokasi huntap itu berjarak 7 kilometer dari tempatnya bekerja.

“Kalau dipindah mau kerja apa di sana? Saya cuma bisa kerja di laut,”  tuturnya, ditemui 8 November 2019.

Ketua RT 02/RW01 Mamboro Barat, Samsudin, mengatakan, sekitar 40 keluarga di wilayahnya yang kembali ke pesisir, sepakat menolak direlokasi ke Tondo. “Kami tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan huntap di sana,” kata Samsudin, 1 November 2019.

Penolakan dari warga Mamboro Barat adalah salah satu tantangan dalam rencana relokasi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018/tanggal 28 Desember 2018 tentang Penetapan Relokasi Pemulihan Akibat Bencana Alam.

Berdasarkan SK ini, di Kota Palu akan dibangun sekitar 7.000 ribu rumah di sejumlah lokasi. Total luas areanya 560,93 hektare. Tiga tempat di antaranya sudah ditetapkan: di Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga, seluas 79,3 hektare, serta di Kelurahan Tondo dan Talise, Kecamatan Mantikulore, seluas 481,65 hektare.

Kriteria warga yang direlokasi adalah penyintas yang kehilangan rumah akibat bencana  atau daerahnya masuk zona merah seperti kampung Mare dan Samsudin di pesisir Mamboro Barat.

Menurut Samsudin, mereka menolak direlokasi karena ekonomi warganya sangat bergantung dengan laut. Para prianya menangkap ikan dan perempuannya mengolah ikan menjadi kering. Sehingga, kata dia, lokasi huntap untuk warga pesisir harusnya dekat dengan laut.

Sementara huntap di Tondo, kata Samsudin, sulit dijangkau oleh warga pesisir yang tak punya kendaraan untuk pergi dan pulang kerja. Apalagi mereka harus menjaga perahu dan hasil ikan agar tidak dicuri.

Samsudin mengaku sudah menerima sosialisasi dari pemerintah bahwa kawasan pesisir Mamboro Barat masuk zona merah tsunami. Tapi, bagi warga kampungnya, pemulihan ekonomi menjadi hal paling penting agar bisa melanjutkan hidup ke depannya, baik untuk makan sehari-hari dan membiayai sekolah hingga kuliah anak-anak mereka. “Zona merah tidak berlaku lagi bagi kami,” kata ayah dua anak ini.

Tinggal di huntara selama dua bulan saja, kata Samsudin, sudah membuat warga kapok. Sebab tidak ada bantuan bahan makanan, dana jaminan hidup telat, dan harus menanggung biaya listrik sendiri. “Lalu kami disuruh makan apa?”

Sebagai jalan keluar, kata Samsudin, pemerintah lebih baik mengizinkan warga yang memilih hidup kembali di zona merah. Kemudian pemerintah menyiapkan jalur-jalur evakuasi dan rutin memberikan pelatihan agar warga bisa melakukan evakuasi mandiri apabila tsunami terjadi di kemudian hari.

Penyintas pesisir Kelurahan Lere juga menolak direlokasi ke Tondo. Mereka meminta pemerintah mendirikan hunian tetap di lokasi hunian sementara saat ini yang berjarak 300an meter dari pantai.

Wakil Kordinator Hunian Antara Kampung Lere, Suwandi, mengatakan, setiap hari nelayan harus menjaga mesin perahunya agar tidak dicuri. Maklum, tingkat pencurian terhadap mesin perahu meningkat setelah bencana. “Nelayan di sini takut mesin perahu hilang kalau tidak mereka jaga,” kata Suwandi 1 November 2019.

Selain itu, dengan alasan yang sama dengan warga Mamboro Barat, lokasi Tondo dianggap terlampau jauh dari pesisir yakni sekitar 13 kilometer.

Bedanya, warga pesisir Kelurahan Lere memberikan opsi lain yaitu adanya ganti rugi. Menurut Suwandi, apabila pemerintah mau memberikan ganti rugi atas tanah mereka yang masuk zona merah, nelayan kemungkinan besar bersedia direlokasi.

Sementara mekanisme yang ditawarkan pemerintah berupa tukar guling. Artinya, pemerintah tidak akan memberikan ganti rugi, tetap penyintas akan mendapatkan hak milik untuk hunian tetap di Tondo. “Tapi kami tidak mau dengan mekanisme tukar guling itu,” katanya.

Ikatan sejarah

Penyintas di Kelurahan Petobo punya alasan lain menolak relokasi. Diungkapkan oleh Rahman, 40 tahun, bahwa Petobo telah menjadi kampung kelahirannya sehingga keluarganya berat untuk berpindah ke lokasi lain.

“Saya dilahirkan dan dibesarkan di Petobo, banyak kenangan, ” kata ayah satu anak ini.

Saat menghuni tempat yang baru, kata Rahman, dia juga kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Selama ini, Rahman bekerja serabutan di sekitar Huntara Petobo untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di masa pascabencana.

Penyintas lainnya, Asriana (25), mengatakan, ia akan beradaptasi kembali apabila direlokasi ke wilayah baru. Apalagi di Tondo, jauh dari tempatnya mencari sumber penghasilan dengan membuka warung makanan sederhana di kompleks huntaranya.

“Banyak keluarga yang lain juga memilih dan tetap di Petobo, ” kata Asriana

Penyintas Kelurahan Petobo pun berjuang mencari lahan di sekitarnya untuk huntap. Warga kemudian mengajukan areal tanah seluas 40 hektar di poros Jalan HM Soeharto yang tak berpenghuni ke Pemkot Palu.

Semula, urusan tanah itu berjalan mulus. Surat Penetapan lokasi pembangunan huntap Satelit Petobo itu telah dikuatkan adanya berita acara kesepakatan nomor : 00/0418/Adpum/Setda.

Bahkan ada pula kesepakatan dengan Pemkab Sigi, melalui berita acara nomor 19/Bad III/IV/2019 antara Pemerintah Sigi, Pemerintah Kota Palu dan Pemerintah Provinsi Sulteng. Kabupaten Sigi tersangkut urusan tanah tersebut karena lokasinya berbatasan dengan dua kabupaten. Kementerian PUPR pun bersedia membangun 1.553 unit rumah permanen bagi penyintas Petobo.

Namun setelah urusan itu beres, tiba-tiba muncul pihak lain yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut sekaligus dengan menunjukkan bukti sertifikat kepemilikan.

Tampaknya penyintas Petobo masih harus menghadapi jalan panjang untuk mendapatkan hunian tetap di dekat kampung mereka.[]

 

Sumber: Kabar Sulteng Bangkit

Tinggalkan Komentar