Penyintas Keluhkan Data Pengungsi yang Simpang Siur

74 dilihat

Ditulis oleh

PALU – Bencana gempabumi sudah berlangsung setahun lebih. Penanganan bencana bahkan sudah memasuki tahap rehab rekon. Namun persoalan soal data pengungsi tak pernah benar-benar klir.
Testimoni pengungsi pada diskusi bertajuk, peliknya perbaikan data pengungsi, yang dilaksanakan Relawan Sulteng Bergerak, Selasa (18/11), menguak fakta itu.

Diskusi yang berlangsung di jalan Rajawali No 24 Kota Palu, menghadirkan Fauzan penyintas dari Desa Loli Pesua, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Fauzan mempertanyakan data penerima dana stimulan, jadup dan huntap yang tidak jelas. Pihaknya sudah beberapa kali bertanya ke instansi terkait seperti BPBD mengenai status rumahnya. Hasilnya aku Fauzan, ia merasa dipingpong kesana kemari. Dari sekian puluh rumah yang mengalami rusak di tempatnya hanya empat rumah yang terdaftar. Padahal hampir 90 persen rumah di desa Loli Pesua mengalami kerusakan.

Fauzan juga mempertanyakan mengenai orang-orang yang bertugas mendata kerusakan rumah para penyintas tersebut adalah orang yang bekerja berdasarkan SK Bupati Donggala. Mereka sama sekali bukan dari perwakilan BPBD atau Dinas Sosial.

Suara dari penyintas lainnya datang dari Sri Sunarmi warga kelurahan Talise Palu. Dirinya aku Sumarni menolak tinggal di huntara Lere karena kondisi di tempat itu cukup memprihatinkan. Salah satunya yakni ketersediaan air bersih. Akhirnya ia mengaku memilih tetap menempati tanah mereka yang jelas masuk dalam zona merah.

Bagi warga menjadi korban, belum membaiknya pendataan pengungsi menyebabkan hak-hak mereka sebagai pengungsi mulai dana stimulan, jaminan hidup termasuk santunan kematian dan status rumah tersapu tsumani, menjadi terabaikan.

Deputi IV rehabilitas dan rekonstruksi BNPB, Rivai menjelaskan, pemerintah siap dikoreksi dan berikan waktu untuk semua pihak bekerja keras. Hal ini bertujuan agar penyintas yang berhak dapat menerima hak mereka. Di tempat yang sama, Sekprov Sulteng Hidayat Lamakarate mengatakan, data pengungsi masih perlu penyempurnaan. Kekurangan data akan ditindaklanjuti melalui validasi.

Hidayat menambahkan, data relokasi termasuk zona rawan bencana telah ditetapkan pemerintah. Hanya saja masih ada sebagian warga yang kemudian menolak atau enggan berpindah dari tempat tinggal semula. Alasan yang sering dikemukakan adalah jauhnya tempat relokasi dari tempat pencaharian mereka. Hal ini kata Sekprov terus diperbaiki pemerintah dan dicarikan solusi. Salah satunya dengan pembangunan huntap satelit. Ia menjelaskan, saat ini huntap satelit di Kota Palu itu Petobo dan Balaroa. Selebihnya akan ditempatkan full di Tondo dan Talise. Di sana ada lahan yang cukup luas.

Ia juga menyinggung warga yang masih menempati zona merah sebagai kawasan terlarang untuk permukiman. Menurut mantan Camat Palu Barat ini, pemerintah ingin agar zona rawan tidak lagi menjadi permukiman warga. Walaupun demikian hak keperdataan atas aset-aset itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Sebagai pemilik aset, masyarakat ungkap Hidayat, tetap berhak atas kepemilikan tanah di zona merah. Termasuk berhak membangun fasilitas di atas tanah miliknya itu. Namun pemerintah tetap memberikan peringatan bahkan melarang tinggal di zona terlarang. ”Jika tidak, maka pemerintah dianggap pembiaran dan tidak hadir ketika terjadi bencana,” urai Hidayat.

Kepala Cabang Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sulawesi Tengah, Nurmarjan Loulemba, pihaknya turut ambil serta dalam membantu pemerintah menangani para penyintas salah satunya dengan pembuatan huntara dan huntap. Hal yang kemudian timbul adalah data simpang siur yang diterima masyarakat berkaitan dengan kapan kepastian warga bisa menempati huntap. Termasuk kejelasan status tanah huntap. Pihaknya terus menyampaikan bahwa dalam prosesnya ada tahapan yang tengah dilaksanakan pemerintah.

“Ada warga yang rumahnya benar-benar hancur, kemudian mendapat informasi bahwa tidak akan diberikan dana stimulan jika tidak membangun dilahan semula, padahal mereka memiliki lahan lainnya yang lokasinya lebih aman dan tidak jauh dari lahan semula. Permasalahan lainnya yakni ada sejumlah penolakan warga menempati lokasi huntap yang telah disediakan semisal di Tondo disana warganya menolak huntap ditinggali oleh warga luar,” kata Nurmarjan.

Sedangkan Arianto Sangadji, pegiat NGO di Palu mengatakan, regulasi berkaitan dengan tata ruang harus benar-benar diperhatikan. Jika tidak atau kemudian mengakibatkan lagi korban dalam bencana maka bisa dipastikan ada kegagalan atau ketidak hadiran pemerintah dalam regulasinya. Banyak hal termasuk masalah data yang harus secepatnya dituntaskan pemerintah pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi agar pemenuhan hak penyintas segera terlaksana.

Di tempat yang sana, Manager Advokasi dan Kampanye Sulteng Bergerak Firmansyah, mengatakan, diskusi ini menjadi momen refleksi bersama mengenai kebijakan dan strategi penanggulang bencana. Menurutnya, banyak hal mengenai penanganan bencana yang belum maksimal bahkan ada beberapa penanganan bencana yang menjadi kontroversi. Contohnya stimulan, jadup dan validasi data.

Hal ini mesti diintegrasikan menjadi pelayanan satu pintu. Jadi pelayanan untuk korban kita tidak perlu lagi mengunjungi beberapa dinas untuk satu masalah penyintas. Dan juga proses pendataannya mesti dalam kerangka partisipatif serta faktual di lapangan agar penerima bantuan tidak dianggap salah sasaran. ***

 

Sumber: Kabar Sulteng Bangkit

Tinggalkan Komentar