Penyediaan Lahan Huntap Belum Penuhi Syarat Bank Dunia

70 dilihat

Ditulis oleh

Bank Dunia punya aturan main ketat membiayai proses pembangunan Hunian Tetap (Huntap) untuk kepentingan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (RR) pascabencana di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Untuk diketahui, rencana pinjaman Bank Dunia untuk kepentingan ini disepakati bersama pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam perjanjian Central Sulawesi Rehabilitacion and Reconstruction Project (CSRRP). Nilai pinjamannya berkisar 150 juta dollar Amerika.

Salahsatu yang wajib dipenuhi negara peminjam untuk pembiayaan ini adalah Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial atau Environmental and Social Framework (ESF) dengan menyusun dan menyepakati Rencana Komitmen Lingkungan dan Sosial atau Environmentak and Social Commitmen Plan (ESCP).

Lalu dari ESCP akan ditetapkan berbagai langkah dan tindakan proyek untuk mengatasi risiko maupun dampak sosial lingkungan atau Environmental and Social Standart (ESS).

Aturan ini dipaparkan Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulteng dalam Focus Discusion Group (FGD) digelar bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Rabu 22 Juli 2020.

Sebagai lembaga yang memonitoring proses penyediaan lahan Huntap untuk penyintas bencana, SKP HAM menilai, pemerintah belum memenuhi dokumen -dokumen aturan Bank Dunia ini.

Koordinator tim monitoring SKP HAM, M Syafari Firdaus, menjelaskan, dari ESF, Bank Dunia menetapkan 10 syarat yang menjadi standart kajian untuk mengatasi risiko lingkungan dan sosial (ESS).

Dari 10 dokumen ESS, menurutnya baru sekitar 4 diantaranya yang diakui pemerintah telah terpenuhi. Itupun ia akui belum melihat langsung hasil kajiannya.

Kajian sosial terkait penyediaan lahan Huntap, menurutnya juga menjadi salah satu standar Bank Dunia. Daus menyebut, sejauh ini telah ada pembiayaan konsultan untuk penyelidikan uji kelayakan tanah yang akan dipersiapkan sebagai lahan Huntap. Jasa konsultan bahkan dibayar sebesar Rp4 miliar lebih.

“Mengapa kemudian muncul masalah lahan di Huntap III Talise Walangguni. Ini artinya konsultan tidak bekerja. Karena masih ada masalah sosial dengan warga terdampak proyek,”katanya.

Bukan saja soal kajian sosial dalam penyediaan lahan, dokumen dokumen lain yang disyaratkan Bank Dunia juga belum dilalukan.

Misalnya soal kajian agar fasilitas Huntap nantinya tidak berdampak pada perempuan, lanjut usia, anak dan kaum difabel. Kemudian pelibatan warga dalam proses perencanaan pembangunan Huntap.

Dia menjelaskan lebih jauh, 10 standar kajian sosial dan lingkungan yang disyaratkan bank dunia antara lain, penilaian dan menejemen resiko dari. Dampak lingkungan dan sosial, tenaga kerja dan kondisi kerja, efisiensi sumber daya serta pencegahan dan penanganan polusi, kesehatan dan keselamatan masyarakat.

Lalu pengadaan lahan, pembatasan penggunaan lahan dan pemukiman kembli secara paksa, konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumber daya alam hayati yang berkelanjutan, masyarakat adat, warisan budaya, lembaga perantara keuangan dan keterlibatan pemangku kepentingan dan keterbukaan informasi.

Masih menurut Firdaus, carut marutnya proses RR pascabencana di Sulteng berawal dari tidak terpenuhinya dokumen dokumen tersebut.

“Bahkan mulai dari penetapan lokasi oleh Gubernur Sulteng itu tak ada kajian yang dilakukan. Tergesa-gesa, akhirnya tak ada yang berjalan mulus,”ujarnya lagi.

Dia menambahkan, khusus persoalan lahan di Talise Walangguni yang di klaim warga, sebenarnya menggambarkan pemerintah telah gagal memenuhi dokumen-dokumen kajian syarat bank dunia.

“Hari ini (Rabu red) pemerintah tetap melakukan penggusuran lahan, ini artinya pemerintah gagal memenuhi penyediaan lahan untuk Huntap tersebut,”demikian Daus.

Adapun LSM yang hadir dalam FGD yakni LBH Apik. Perwakilan difabel. Yasin. Tuna rungu. Komunitas Habitat. KPKST. Perhimpunan bantuan hukum rakyat. Serta Komunitas Historia, Sulteng Bergerak dan solidaritas perempuan.(mdi/palu ekspres)

 

Sumber: Palu Ekspres

Tinggalkan Komentar