Sukacita Penyintas Bencana di Tengah Wabah Korona

162 dilihat

Ditulis oleh

Penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Sulteng, bersukacita karena hunian tetap mulai ditempati. Itu menjadi penawar di masa sulit karena wabah Covid-19.

Abdul Latif Bebas (60) dengan santai duduk di kursi putih sembari tangan bersandar di meja dan punggung di dinding. Ia menatap lurus ke pintu rumah dengan senyum. Ia bertambah semringah melihat Refa (4), putri bungsunya, berkejaran di dalam ruangan bersama dengan Ikram (4), temannya.

”Kami sekarang seperti tinggal kembali di rumah sebelum gempa. Silakan main sepuasnya, Nak,” ujar penyintas tsunami Kelurahan Layana, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulawesi Tengah itu, Senin (18/5/2020).

Bersama dengan Hafsa (40)Abdul sejak pagi membersihkan rumah di Blok P Nomor 12 di kompleks perumahan penyintas yang dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore.

Tak mau lama-lama, ia membawa serta perabot rumah, seperti lemari pakaian dan perlengkapan dapur. Satu kasur yang disumbangkan penyedia rumah sudah ditatanya di kamar utama. ”Kami memang berencana langsung tidur di sini malam ini (Senin malam). Biar merasakan suasana barunya huntap (hunian tetap),” ujarnya sambil tertawa.

Keluarga penyintas gempa dan tsunami berdiri di depan hunian tetap yang mereka terima dari pemerintah di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Senin (18/5/2020). – KOMPAS/Videlis Jemali

Menempati huntap merupakan kerinduan Abdul selama 20 bulan ini. Itu sejak rumahnya, yang juga dijadikan usaha mebel, disapu rata tsunami pada 28 September 2018. Selama ini, ia bersama istri dan anak bungsunya tinggal di hunian sementara (huntara) di Kelurahan Layana.

Huntara itu hanya memiliki satu kamar tanpa sekat dan berbentuk panggung. Anaknya tak bebas bermain atau berlari-lari sebagaimana biasanya anak balita yang sangat aktif. Dapur dan kamar mandi pun dipakai secara umum untuk penghuni huntara. Privasi agak sulit dijaga.

Uang nanti kita akan cari lagi, yang terpenting rumah yang sangat sudah lama dirindukan ini sudah ada.

Mendapatkan huntap bagi Abdul, yang setelah bencana masih bisa meneruskan usaha mebelnya, seperti berkah berlipat ganda. Huntap ditempati menjelang hari raya Idul Fitri pada 24-25 Mei nanti. Suasana hari besar itu tentu berbeda nantinya dibandingkan ketika mereka masih di huntara.

Tak hanya itu, huntap juga ditempati saat situasi sulit karena wabah Covid-19 melanda. Usaha mebelnya berhenti dua bulan lalu karena tiga pekerja memilih pulang kampung. Mengandalkan sedikit tabungan tersisa, ia senang karena kini bisa nyaman tinggal di rumah. ”Uang nanti kita akan cari lagi, yang terpenting rumah yang sangat sudah lama dirindukan ini sudah ada,” ucapnya.

Seorang penyintas gempa dan tsunami duduk di dalam hunian tetap (huntap) yang mulai ditempati di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Senin (18/5/2020). – KOMPAS/Videlis Jemali

Yusuf (40), penyintas likuefaksi dari Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, juga senang bukan kepalang. Hampir 1,5 tahun ia bersama tiga anggota keluarganya tinggal berpanas-panasan di tenda di pengungsian Balaroa. Tak tahan dengan kondisi itu, ia dengan terpaksa mencari rumah kos dalam dua bulan terakhir.

”Saya sangat bersyukur. Ini kerinduan saya sejak rumah tertelan likuefaksi. Saya dan keluarga jadi bisa tenang,” ujar pedagang di Pasar Inpres Masomba, Palu, yang menempati huntap Blok P Nomor 10 itu.

Baginya, tak masalah jiak ia harus menempuh jarak sekitar 10 kilometer dari huntap ke pasar tempatnya berjualan. Rumah adalah segalanya. ”Karena di rumah, kita bisa nyaman, semua jadi tenang,” ujarnya.

Abdul dan Yusuf merupakan dua dari 20 penyintas yang secara simbolik menerima dan mulai menempati huntap tersebut, kemarin. Hunian tersebut dibangun Yayasan Buddha Tzu Chi sejak Maret 2019.

Hunian tetap atau rumah tersebut berukuran 6 meter x 6 meter atau tipe 36 dengan luas lahan sekitar 150 meter persegi. Rumah berkonstruksi lembaran serat beton dan kayu (conwood), berlantai keramik, dan dilengkapi plafon.

Rumah terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar keluarga, satu dapur setengah terbuka, dan satu kamar mandi. Lampu listrik dipasang di setiap kamar. Yayasan Buddha Tzu Chi turut menyediakan perabot rumah, seperti meja, empat kursi, serta masing-masing tiga kasur dan kerangka tempat tidur.

Pemerintah dan sejumlah yayasan atau lembaga sosial membangun 11.000 huntap untuk penyintas yang terdampak parah gempa, tsunami, dan likuefaksi, 28 September 2018. Mereka disediakan rumah di lahan baru (relokasi) karena lokasi rumah mereka ditetapkan jadi zona terlarang (zona merah) untuk pembangunan hunian baru. Lahan tersebut dijadikan ruang terbuka hijau dan taman kenangan bencana.

Huntap terbanyak dibangun di Palu dengan jumlah tak kurang dari 6.000 unit. Daerah itu paling menderita karena dampak bencana lalu. Kabupaten Sigi menyediakan sekitar 2.000 huntap, lalu Donggala, dan sebagian kecil Parigi Moutong. Pembangunan hunian masih terus berlangsung di empat daerah itu dengan target rampung pada akhir 2020.

Penyintas masih perlu merapikan dan melengkapi lagi huntap tersebut. Di sejumlah rumah, onggokan tanah masih dibiarkan di halaman. Tanah itu perlu diratakan lagi. Dapur yang masih terbuka juga perlu ”disembunyikan” dengan pagar kayu atau tembok.

Namun, bagi Yusuf, semua itu bisa dikerjakan pelan-pelan. ”Yang terpenting, saya dan keluarga sudah menempati rumah. Ini sudah lebih dari cukup. Nanti kekurangan itu akan dirapikan dan dilengkapi pelan-pelan,” ucapnya.

Saat memberikan sambutan, Wali Kota Palu Hidayat menuturkan, pemerintah sangat berterima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi. Yayasan itu dengan gigih berusaha agar Palu mendapatkan jatah huntap.

Ia menyampaikan, saat ini, total huntap yang selesai dibangun sebanyak 550 unit dari 1.500 unit yang sedang dikerjakan. Sebenarnya, banyak penyintas yang mulai menghuni, tetapi sejumlah huntap belum tersambung dengan air bersih. ”Kita atur yang fasilitasnya sudah lengkap dulu. Kami akan dorong Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk bisa mengurus air ini secepatnya agar penyintas bisa masuk secara bertahap,” katanya.

Hidayat menegaskan, status kepemilikan huntap tersebut adalah hak milik. Adapun sertifikatnya masih diurus. Hal ini perlu ditegaskan karena adanya informasi miring di kalangan penyintas bahwa kepemilikan rumah hanya berlaku 10 tahun.

Wali Kota Palu Hidayat memberikan sambutan dalam acara penyerahan dan peresmian hunian tetap di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Sulteng, Senin (18/5/2020). – KOMPAS/Videlis Jemali

Ia menegaskan, pembangunan hunian tetap di Palu dan Sulteng pada umumnya harus rampung pada 2020. Semua pihak perlu bekerja keras untuk membereskan hambatan pembangunan, termasuk status lahan di lokasi huntap lainnya, seperti Kelurahan Tondo II dan Kelurahan Talise.

Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Ferdinand Kana Lo beberapa waktu lalu menyampaikan pasokan air di huntap terkendala pengurusan atau pembebasan mata air. Ada warga di lokasi mata air yang menolak air tersebut dimanfaatkan.

Karena itu, proyek pengadaan air praktis belum bisa dikerjakan. Untuk sementara, air disuplai dari sambungan air di kompleks perumahan di sekitar lokasi huntap. Untuk menambah pasokan air, dibangun sumur suntik.

 

Sumber: Kompas

 

Tinggalkan Komentar