Sengkarut Penyusunan Rencana Aksi Relokasi

1.4K dilihat

Ditulis oleh

Moh. Syafari Firdaus

Moh. Syafari Firdaus

Peneliti, Ketua Tim Monitoring Hunian Tetap SKP-HAM Sulteng.
Moh. Heriantho
Moh. Heriantho
Pegiat sejarah dan budaya, anggota Komunitas Historia Sulteng (KHST).

Penyediaan hunian tetap (huntap) bagi warga terdampak bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala sampai saat ini masih terus berjalan. Dari rencana 11.788 huntap[1] yang akan dibangun, sebagian di antaranya sudah ada yang siap ditempati. Dalam waktu kurang dari 2,5 tahun, sebagaimana yang termaktub dalam Peraturan Gubernur Sulteng Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana, bantuan dan penyediaan hunian tetap (perumahan) bagi korban bencana ini sudah harus diselesaikan.

Sampai dengan pertengahan April 2020, Yayasan Buddha Tzu Chi dikabarkan sudah menyelesaikan 490 unit huntap di lokasi relokasi Tondo I dan 85 unit di Pombewe. Buddha Tzu Chi menargetkan lebih dari seribu unit lagi yang bisa rampung di kedua lokasi itu pada Mei 2020. Di lokasi huntap satelit Balaroa, sudah tersedia 127 unit. AHA Center telah menyerahterimakan 75 unit huntap yang mereka bangun di lokasi Tondo I kepada Pemerintah Kota Palu. Kementrian PUPR, yang pada Tahap I ini membangun di lokasi relokasi Duyu dan Pombewe, menargetkan 630 unit huntap yang akan selesai pada Mei 2020, yaitu 230 unit di Duyu dan 400 unit di Pombewe.[2] Dengan kata lain, jika target tidak meleset, secara keseluruhan ada lebih dari 2.000 unit huntap yang akan tersedia pada Mei 2020.

Proses penyiapan dan pembangunan huntap tersebut memang tidaklah semulus sebagaimana yang direncanakan dan diharapkan. Ada sejumlah kendala, baik di tingkat perencanaan maupun di dalam proses implementasi di lapangan. Sejumlah kendala tersebut di antaranya adalah (1) lahan relokasi untuk huntap yang belum sepenuhnya bersih dan jelas; (2) data calon penerima huntap yang masih belum rampung; (3) masih ada begitu banyak warga yang menolak untuk direlokasi ke lokasi yang sementara ini telah ditetapkan oleh pemerintah; serta (4) ini khusus untuk Kementrian PUPR yang membangun huntap dengan dana pinjaman dari Bank Dunia, belum selesainya sejumlah dokumen proyek sebagaimana yang disyaratkan oleh Bank Dunia.

Untuk penyediaan huntap pascabencana di Sulawesi Tengah, Pemerintah Indonesia (cq. Kementrian PUPR) akan menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia. Dalam rencana, pengerjaannya itu akan dilakukan dalam dua tahapan. Tahap I, yang kini sedang berlangsung dan merupakan tahap transisi atau pendahuluan, dilakukan NSUP—CERC.[3] NSUP adalah program yang sudah berjalan di Sulawesi Tengah jauh sebelum bencana 28 September 2018. Ketika bencana terjadi, Pemerintah Indonesia mengajukan realokasi bujet untuk prorgam itu, dan sekaligus mengaktivitasi komponen kontigensi tanggap darurat (CERC) yang tersedia di dalamnya.[4] Hal ini dilakukan agar ada tindakan cepat untuk segera melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Sulawesi Tengah, dan sekaligus dijadikan kerja pendahuluan untuk mempersiapkan tahap selanjutnya. Anggaran untuk NSUP—CERC adalah sebesar US$ 100 juta.

Tahap II, pengerjaannya akan dilakukan Central Sulawesi Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP). CSRRP inilah yang secara proyek memang bertujuan untuk melakukan rekonstruksi dan memperkuat fasilitas publik dan perumahan yang lebih aman di daerah yang terdampak bencana. Dana yang dipinjam dari Bank Dunia untuk CSRRP ini adalah sebesar US$ 150 juta.

Sebagai pendahuluan, selain membangun hunian tetap di tahap awal, NSUP—CERC akan melakukan sejumlah kerja persiapan agar CSRRP bisa segera berjalan sesuai rencana. Untuk hal ini, Pemerintah Indonesia menjanjikan kepada Bank Dunia akan mengaktivasi fasilitator NSUP—yang sebelumnya memang telah berlajan—untuk mengawali aktivitas di lapangan. CERC akan menyediakan fasilitasi transisi (bridging assistance) untuk mendukung manajemen proyek (melalui National Management Consultant, NMC), menyiapkan desain keseluruhan, mensupervisi konstruksi untuk infrastruktur perumahan—pemukiman (Technical Management Consultant, TMC), serta melakukan fasilitasi terhadap masyarakat. Singkatnya, kerja pendahuluan yang dilakukan NSUP—CERC adalah untuk sekaligus menyiapkan kelengkapan berbagai dokumen yang disyaratkan oleh Bank Dunia.[5]

Ada tiga dokumen yang sementara ini menjadi panduan (dan sekaligus menjadi tolak ukur) NSUP—CERC untuk melakukan kerja-kerja pendahuluannya. Ketiga dokumen itu adalah Rencana Komitmen Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environmental dan Social Commitmen Plan, ESCP) dan Rencana Keterlibatan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Plan, SEP) yang telah disusun oleh Kementrian PUPR; serta dokumen Tinjauan Ringkas Penilaian Lingkungan dan Sosial (Appraisal Environmental and Social Review, ESRS) yang dikeluarkan kemudian oleh Bank Dunia.

Berbagai kendala yang kini mengemuka sebagaimana yang disinggung di bagian awal di tulisan ini beberapa di antaranya sebenarnya sudah diidentifikasi dalam dokumen ESRS.[6] Sejumlah langkah dan tindakan untuk mengatasi berbagai potensi risiko maupun dampak yang mungkin akan ditimbulkan oleh adanya kendala-kendala tersebut telah disusun pula dalam dokumen ESCP; begitupun, siapa saja pihak yang akan dilibatkan sudah dicatatkan di dalam dokumen SEP. Dengan kata lain, di tingkat konsep dan perencanaan, semua sudah relatif terintegrasi. Sayangnya, hal itu tampaknya mandeg, tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Salah satu yang bisa ditunjuk sebagai penyebabnya adalah karena dokumen pendukung yang bisa dijadikan rujukan dan panduan untuk mengatasinya tidak (atau belum) tersedia.

Di dokumen ESCP, kementrian PUPR menjanjikan untuk menyusun Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Management Framework, ESMF). Namun, sampai April 2020, dokumen ESMF belum jelas bagaimana statusnya. Begitu pula dengan sejumlah dokumen lain yang akan menjadi bagian dari ESMF: pengadaan lahan dan kerangka kebijakan relokasi (Land Acquisition and Resettlement Policy Framework, LARPF), pengadaan lahan dan rencana aksi relokasi (Land Acquisition and Resettlement Plan, LARAP),[7] mekanisme keluhan dan pengaduan (Grievance Redress Mechanism, GRM),[8] serta dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL),[9] misalnya, sejauh ini masih belum terdengar keberadaannya. Dokumen-dokumen tersebut akan bisa menjadi rujukan dan panduan untuk mengatasi berbagai persoalan dan kendala yang muncul di lapangan terkait dengan proses pembangunan huntap yang sedang dan hendak dijalankan.

Kebijakan dan Mekanisme Pengadaan Lahan

Kebijakan dan mekanisme pengadaan lahan sebenarnya sudah cukup jelas diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan di Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 beserta perubahannya sebagai aturan pelaksanaannya.[10] Penyusunan dan pelaksanaan dokumen LARAP akan berpatokan pada kebijakan tersebut.[11]

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa proses pengadaan lahan haruslah dilakukan dengan cara konsultasi publik serta menjalankan asas keterbukaan dan keikutsertaan (partisipasi) dari semua pengampu dan pemangku kepentingan, mulai dari tahap perencanaan, persiapan, sampai dengan tahap implementasi. Konsultasi publik harus mengadopsi pendekatan dialog, dan dapat berlangsung lebih dari satu kali, tergantung dari kebutuhan untuk mencapai kesepakatan. Proses pengadaan lahan harus diselesaikan sebelum pelaksanaan konstruksi mulai dilakukan.

Proses konsultasi publik untuk pengadaan lahan lokasi pembangunan huntap, sepanjang amatan kami, belum dilakukan. Padahal, merujuk pada mekanisme yang diatur di dalam undang-undang tersebut,[12] konsultasi publik harus sudah dilaksanakan paling lama 60 hari dari sejak perencanaan dan pendataan awal lokasi diumumkan, dan dapat diperpanjang 30 hari bila ada pihak-pihak yang merasa berkeberatan. Gubernur kemudian membentuk tim untuk melakukan kajian atas keberatan lokasi. Hasil kajian berupa rekomendasi terkait dengan diterima atau ditolaknya keberatan rencana lokasi pembangunan tersebut akan diterima paling lama 14 hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan gubernur.

Proses pengadaan lahan untuk lokasi huntap diawali dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulteng Nomor 369/516/DIS.BMPR-G.ST/2018 tentang Penetapan Lokasi Tanah Relokasi Pemulihan Akibat Bencana di Sulteng, tanggal 28 Desember 2018. Ada empat lokasi yang ditetapkan sebagai tempat pembangunan huntap: Todo—Talise, Duyu, Pombewe, dan Oloboju. Lokasi-lokasi tersebut ditetapkan atas usulan dari Pemkot Palu dan Pemkab Sigi.

Tidak semua lahan yang diusulkan bisa digunakan karena status hukumnya masih ada yang dalam penguasaan izin konsesi. Sependek catatan kami, perusahaan yang masih memiliki izin konsesi di lokasi tersebut sempat mengajukan keberatan. PT Lembah Palu Nagaya, misalnya, tidak dengan serta-merta mau menyerahkan lokasi konsesinya di Tondo untuk digunakan pembanguan huntap. Meskipun sempat membuahkan polemik—tidak saja antara pemerintah dengan perusahaan pemilik konsesi, polemik juga terjadi antara Pemkot Palu dengan pihak Kanwil ATR/BPN Provinsi Sulteng—persoalan kemudian relatif bisa diselesaikan ketika Mentri ATR/BPN memerintahkan kepada pihak pemegang konsesi agar dengan sukarela melepas hak konsesinya seluas kebutuhan huntap sebagaimana yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur Sulteng. Pembangunan huntap, untuk sementara, bisa terus berjalan.

Keberatan sebenarnya tidak hanya muncul dari perusahaan pemilik konsesi. Sejumlah warga di Tondo—Talise dan Duyu menyatakan keberatan pula untuk sebagian lahan yang telah ditetapkan sebagai lokasi huntap. Mereka mengklaim memiliki hak atas lahan yang sebelumnya dikuasai oleh sejumlah perusahaan pemilik konsesi yang izinnya kini sudah tidak diperpanjang lagi tersebut.[13]

Sayangnya, keberatan warga ini tidak diproses! Kalaupun ada usaha untuk memprosesnya, cara yang ditempuh tidak bersandar pada mekanisme dan asas yang ditentukan: tidak dilakukan lewat dialog publik dan seluruh pihak yang berkeberatan dilibatkan. Akibatnya, ada sejumlah warga yang tetap merasa kecewa, dan melampiaskan kekecewaannya itu dengan melakukan aksi protes dan blokade di lokasi huntap, misalnya. Pada konteks ini, tindakan warga tersebut tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan. Boleh jadi, warga melakukan tindakan tersebut karena tidak ada mekanisme keluhan dan pengaduan yang secara khusus bisa digunakan ketika mereka memiliki persoalan terkait proyek. Kalaupun ada—sebut saja, Program KOTAKU memiliki mekanisme PIM (pengelolaan informasi dan masalah)—boleh jadi mekanisme itu tidak terinformasikan kepada warga.[14]

Tidak dilibatkannya warga yang berkeberatan itu memberi indikasi kuat, Tim LARAP tidak bekerja —kalaupun memang mereka sudah bekerja—sebagaimana pedoman. Jika mengacu pada tahapan proses penyusunan LARAP, warga yang berkeberatan itu semestinya sudah diidentifikasi oleh Tim LARAP sebagai bagian dari warga terdampak proyek (WTP). Seiring dengan proses pemetaan dan pendataan di lapangan, Tim LARAP pun sudah akan menginventarisasi seluruh aset warga yang akan terdampak proyek.[15] Selanjutnya, WTP akan diinformasikan pula mengenai hak-hak mereka dan berbagai pilihan yang tersedia, termasuk informasi yang menyangkut kompensasi (jika proyek memungkinkan untuk memberikan kompensasi) atas kerugian aset yang terkena proyek secara langsung.[16] Oleh karena diidentifikasi sebagai WTP, mereka akan diajak untuk turut terlibat dalam konsultasi publik.

Alih-alih segera merampungkan dokumen LARAP—yang berdasar pada RPF—agar pembangunan huntap memiliki pedoman dan panduan yang lebih jelas, terukur, dan terarah, Pemerintah Kota Palu malah mengenyampingkan kepentingan dari warga yang berkeberatan itu dengan meminta mereka untuk “tidak menggangu lokasi huntap!” Hal ini kian menguatkan pandangan, proyek pendahuluan pembangunan huntap yang dilakukan NSUP—CERC tidak melakukan pendekatan yang bersandar pada pedoman dan panduan yang semestinya dipatuhi, baik itu yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan aturan pelaksanaannya maupun yang dikeluarkan oleh Bank Dunia sebagai pihak yang memberi pinjaman.[17]

Pengadaan tanah ini baru satu soal, belum lagi kalau menyisir berbagai soal lainnya yang juga akan membutuhkan dasar kebijakan dan prosedur untuk menentukan langkah dan tindakan yang harus dilakukan. Soal yang terkait dengan pemulihan mata pencaharian bagi warga yang akan direlokasi dan penanganan untuk kelompok rentan (terkait dengan pendaftaran dan penentuan alokasi unit huntap, misalnya).[18] Begitu pula halnya dengan mitigasi untuk risiko dan dampak yang akan muncul dari masuknya arus tenaga kerja untuk proyek. Selain akan membutuhkan prosedur untuk standar kondisi kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, dan kebijakan terkait pekerja anak, soal kekerasan berbasis gender (GBV) serta eksploitasi dan kekerasan seksual (SEA) harus juga dimitigasi seiring dengan masuknya arus tenaga kerja tersebut.

Pertanyaannya kemudian, mengapa dokumen-dokumen tersebut sampai saat ini tidak (atau belum) juga tersedia? Apa yang menjadi kendalanya? Kalau boleh berasumsi, bagi Kementrian PUPR yang sudah terbiasa menggunakan dana pinjaman Bank Dunia, bukankah menyusun dokumen ESMF dan LARAP semestinya sudah menjadi suatu hal yang cukup rutin dikerjakan? Kendala di pembiayaan, boleh dipastikan bukan, karena jika merujuk pada perencanaan kegiatan NSUP—CERC, tercantum pembiayaan Komponen B untuk konsultan yang dianggarkan sebesar lebih dari Rp 57 milyar, untuk aktivitas yang akan berlangsung selama tujuh bulan, terhitung mulai dari Oktober 2019 s.d. April 2020. Pembiayaannya mencakup perencanaan dan supervisi bridging, fasilitator LARAP, konsultan manajemen dan safeguard, serta konsultan penyelidikan tanah.

Sejauh ini, kami memang belum mengonfirmasi kepada semua pihak yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan penyusunan dokumen-dokumen tersebut. Bertolak dari sejumlah pihak yang pernah ditemui dan diajak berdiskusi, kami menduga, mandegnya penyusunan dokumen-dokumen tersebut adalah karena ada kebuntuan koordinasi dan komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dokumen.

Kelompok kerja LARAP yang dibentuk oleh Pemkot Palu, misalnya, komposisinya terlalu “gemuk”[19] sehingga, boleh jadi, berdampak pada adanya kesulitan melakukan koordinasi dan kinerjanya tidak efektif. Padahal, kelompok kerja LARAP ini masih harus berkoordinasi juga dengan Tim Konsultan LARAP dan Tim TMC NSUP—CERC, baik dalam proses perencanaan LARAP, melakukan kajian aspek sosial, ekonomi, dan hukum terhadap warga terdampak beserta aset-aset mereka yang terdampak proyek, maupun dalam proses penyusunan dokumen LARAP itu sendiri. Koordinasi di tingkat Tim LARAP ini pun mengalami kebuntuan. Terlebih lagi, Tim LARAP ini pun tidak cukup dibekali dengan panduan kerja perencanaan dan pelaksanaan LARAP yang semestinya menjadi tanggung jawab dan disiapkan oleh Tim MNC—CERC.

Alhasil, kerja menjadi “serabutan”. Sekurang-kurangnya, itu yang terjadi dan dialami para fasilitator LARAP di tingkat kelurahan yang menjadi ujung tombak penyedia data bagi dokumen LARAP. Tanpa adanya panduan dan instrumen kerja yang jelas, para fasilitator huntap kelurahan terkesan menjadi kehilangan arah ketika mereka harus melakukan berbagai pendataan dan kajian awal, mengadakan sosialisasi, memfasilitasi dan mengorganisir warga, memastikan pengelolaan pengaduan warga, dan lain sebagainya. Ketersediaan dan kelengkapan data yang dibutuhkan pun pada akhirnya mandeg, hanya jalan di tempat.

Dengan demikian, menjadi bisa dipahami mengapa sampai saat ini data-data warga calon penerima huntap belum juga kunjung rampung. Begitupun dengan data warga yang terdampak proyek, agak disangsingkan juga kalau data itu telah tersedia. Dengan data-data yang belum sepenuhnya lengkap itu, bisa diduga pula kalau kebijakan dan rencana aksi relokasi belum tersusun dan terskemakan sebagaimana layaknya.

Konsekuensi lanjutannya adalah tidak ada pedoman, panduan, atau bahan-bahan yang lebih jelas, rinci, dan terarah untuk, setidaknya, diinformasikan dan disosialisasikan kepada seluruh warga. Bagaimanapun, warga—terutama warga terdampak proyek dan warga yang sampai saat ini masih menolak untuk direlokasi—sangat butuh informasi dan sosialisasi yang terperinci terkait hal ini, yang sekaligus akan bisa menjawab segenap kegelisahan dan kebimbangan mereka. Dengan adanya informasi dan sosialisasi yang terperinci itupun, rasanya, warga akan bisa mengambil keputusan dengan segera.

Proses dan mekanisme kerja yang sejauh ini telah dilakukan NSUP—CERC rasanya jauh untuk bisa disebut memuaskan. Bukan saja karena untuk melakukan semua kerja itu mereka dibiayai dengan anggaran yang relatif cukup besar, lebih dari Rp 57 milyar. Lebih dari itu, berbagai persoalan dan kendala di lapangan terkait proses penyediaan dan pembangunan huntap kian bertambah pelik dan problematik.

Memaknai Partisipasi Warga lewat Filosofi Tonda nTalusi

Proses perencanaan dan pelaksanaan relokasi pada prinsipnya diharapkan untuk mengarusutamakan pendekatan partisipatif, inklusif, konsultatif, dan berbasis masyarakat. Pendekatan ini akan memungkinkan masyarakat untuk turut terlibat dalam proses pengambilan keputusan berdasarkan preferensi mereka. Oleh karena pendekatan ini tidak dilakukan—atau, kalaupun telah dilakukan, prosesnya tidak selaras dengan prosedur dan mekanisme (karena tidak atau belum ada prosedur dan mekanisme yang disepakati)—sampai saat ini masih ada begitu banyak warga yang bimbang dan, bahkan, sejumlah di antaranya menolak untuk relokasi.

Kebimbangan warga kiranya menjadi cukup beralasan. Sejauh ini, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang (RDTR), dan penetapan Zona Rawan Bencana (ZRB) masih belum jelas. [20] Di tahap penyusunan RTRW itu pun warga merasa tidak dilibatkan. Selain itu, warga pun tidak memiliki kecukupan informasi terkait dengan kebijakan dan rencana relokasi itu sendiri.

Bagi warga terdampak bencana yang berhak untuk relokasi dan mendapatkan huntap, misalnya, pertanyaan-pertanyaan di seputar soal, bilakah mereka masih bisa membangun rumah di zona rawan bencana; bagaimana dengan kelanjutan hidup dan mata pencaharian mereka; bagaimana dengan sekolah anak-anak mereka (apakah anak-anak masih harus bersekolah di tempat semula atau akan disediakan sekolah yang dekat dengan lokasi relokasi huntap); bagaimana nasib kampung mereka yang secara sosio—historis telah begitu melekat dengan kehidupan mereka setelah mereka tinggalkan nanti; dan bagaimana status tanah mereka yang berada di zona rawan bencana, masih kerap mengemuka dan belum ada pihak-pihak yang bisa secara bernas menjawab dan menjelaskan soal-soal tersebut.

Lebih tidak jelas lagi nasib warga terdampak proyek yang kini mengklaim memiliki hak di lahan eks-HGB yang diperuntukkan sebagai lokasi huntap. Mereka tidak diidentifikasi, bahkan—kalau membaca sejumlah pemberitaan media daring—[21] seperti hanya dianggap sebagai “pengganggu”. Prinsip partisipasi dan mekanisme konsultasi publik nyaris diabaikan. Pertanyaan mereka terkait dengan soal, apakah mereka akan mendapat kompensasi, misalnya, dengan pendekatan yang kini dipakai oleh Pemkot Palu, sepertinya akan diabaikan pula. Belum ada tanda-tanda mereka akan diajak konsultasi atau dimediasi untuk menemukan solusi.

Mandat dari berbagai kebijakan dan juga aturan Bank Dunia agar proses pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulteng ini dilakukan dengan menjalankan prinsip pastisipatif, inklusif, dan berbasis masyarakat, sesungguhnya selaras pula dengan adat dan budaya masyarakat Kaili. Filosofi Tonda nTalusi, yang mengakar kuat di masyarakat Kaili, layak untuk dijajaki sebagai bagian dari pendekatan partisipasi warga.

Filosofi Tonda nTalusi yang menempatkan adat, pemerintah, dan agama pada kedudukan yang sama dan setara, diyakini akan bisa membangun keselarasan dan menjadi menopang tonggak kehidupan bermasyarakat. Ini sesungguhnya modal yang kuat. Melakukan sosialisasi, pertemuan dalam skala komunitas, dan rembug warga dengan menggunakan pendekatan adat—budaya, melibatkan tokoh adat, pemuka agama, dan aparat pemerintah, sangat mungkin akan membuahkan hasil yang lebih solutif atau setidaknya bisa meredam gejolak yang mungkin akan muncul di tengah warga. Pada konteks ini, karakter masyarakat Kaili yang lekat dengan ketokohan adalah fenomena yang harus dipahami. Oleh karena itu, memetakan keberadaan sosok kunci di tengah kelompok warga, dan menghadirkannya untuk selalu dilibatkan di dalam setiap proses dan pengambilan keputusan guna menemukan kesepakatan bersama yang diharapkan menjadi penting untuk dilakukan. Masyakarat Kaili pun percaya, “belo raelo belo rakava, belo raporia belo rakava”, jika kebaikan yang dicari, maka kebaikan juga yang akan diperoleh; dan perbuatan baik, akan dibalas dengan kebaikan pula.

Dengan filosofi Tonda nTalusi, lembaga adat, dengan aturannya yang menjadi norma hukum yang mengikat masyarakat, akan diberi ruang untuk memfasilitasi dan mengatasi persoalan yang terjadi. Pun halnya dari sudut pandang  pemuka agama, mereka memiliki daya untuk meluluhkan sifat keras masyarakat Kaili. Di sisi lain, pemerintah pun harus konsekuen dengan segala komitmennya untuk memfasilitasi dan mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan warganya agar tidak ada yang kemudian merasa dirugikan dan diabaikan.

Betul, bahwa proses inipun bukanlah perkara mudah dan sederhana. Terlebih, sejumlah kalangan ada yang beranggapan, filosofi Tonda nTalusi pada saat ini sudah mulai meluntur. Tiga pilar yang ada, sudah tidak lagi setara. Pemuka adat berada di bawah bayang-bayang penguasa, sementara antara adat dan agama pun terbentuk jurang yang melebar sekaitan dengan adanya anggapan, adat mempunyai andil dalam memicu terjadinya bencana. Akan tetapi, dengan pandangan yang optimis, adanya momen ini justru bisa gunakan untuk memposisikan kembali ketiga elemen tersebut pada tempat dan kedudukannya agar tonggak kembali kukuh, menjadi penopang dan sekaligus saluran yang solutif untuk mengatasi berbagai silang-sengketa.

Pada konteks inipun, hal yang paling dibutuhkan adalah kesungguhan dari semua pihak untuk mau duduk bersama, melepaskan ego sektoralnya, menatap jauh ke depan untuk menemukan solusi dan kesepakatan bersama. Dengan begitu, tujuan untuk “membangun masyarakat tangguh” dan “build back better” tidak hanya jadi sekadar konsep di atas kertas dan slogan yang terpajang di spanduk-spanduk.

* * *

______________________________________

[1] Angka ini mengacu pada rencana awal Kementrian PUPR, meskipun dari hasil uji publik yang telah dilakukan pada 9 s.d. 14 Maret 2020, kebutuhan huntap yang sudah terverifikasi hanya 7.097 unit.

[2] Penyelesaian di Mei 2020 ini agak meleset dari target awal. Sedianya, PUPR berencana menyelesaikan huntapnya pada April 2020 sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.

[3] NSUP adalah National Slum Upgrading Project, atau yang lebih dikenal dengan Program KOTAKU; sedangkan CERC adalah Contigency Emergency Response Component (komponen kontigensi tanggap darurat).

[4] Selain NSUP, Pemerintah Indonesia mengajukan realokasi bujet dan mengaktifkan komponen kontigensi tanggap darurat (CERC) untuk WINRIP (Western Indonesia National Roads Improvement Project). WINRIP—CERC kemudian mengerjakan perbaikan jalan-jalan yang rusak akibat bencana di Kota Palu dan Kabupaten Sigi.

[5] Kelengkapan dokumen yang disyaratkan Bank Dunia itu boleh dibilang tidak sedikit. Hal yang paling utama adalah Kementrian PUPR, sebagai pelaksana proyek, harus mematuhi Standar Lingkungan dan Sosial (Environmental and Social Standard, ESS) berdasarkan pada Kerangka Kerja Lingkungan Sosial (Environmental and Social Framework, ESF) sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Bank Dunia. Uraian mengenai hal ini bisa dibaca dalam tulisan Hunian Tetap, PUPR, dan Aturan Bank Dunia.

[6] Untuk CSRRP, Bank Dunia menilai tingkat resiko lingkungannya besar (substansial), dan tingkat risiko sosialnya tinggi. Secara keseluruhan, tingkat risiko CSRRP diklasifikasikan tinggi.

[7] Dokumen ini akan menjadi panduan untuk mengidentifikasi, mengatasi, dan memitigasi dampak sosial-ekonomi yang merugikan karena pelaksanaan proyek melakukan pembebasan lahan (atau pembatasan penggunaan lahan) dan untuk memitigasi dampak dari pelaksanaan relokasi. Dokumen LARPF akan memaparkan prinsip pemukiman kembali, kebijakan, prosedur dan persyaratan, penilaian untuk proyek terkait, kelayakan untuk kompensasi dan bantuan, jaminan atas hak, undang-undang dan peraturan yang berlaku, pengaturan dan pendanaan kelembagaan, mekanisme pengaduan, serta bagaimana pelaksanaan pemantauan dan evaluasi. Dokumen LARPF ini akan menjadi dasar bagi penyusunan dan pelaksanaan LARAP.

[8] GRM adalah mekanisme pengaduan, proses, atau prosedur untuk menerima dan memfasilitasi penyelesaian masalah dan keluhan dari pihak-pihak yang terdampak proyek yang timbul sehubungan dengan keberadaan proyek, khususnya tentang kinerja lingkungan dan sosialnya.

[9] Berpatokan pada skala proyek, pembangunan huntap ini memang tidak memerlukan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), cukup dengan dokumen UKL-UPL yang selaras dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 16 tahun 2012. Untuk kegiatan/proyek yang membutuhkan AMDAL bisa dibaca dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012.

[10] Perpres No.71/2012 telah empat kali diamandemen, lewat Perpres No.40/2014, Perpres No.99/2014, Perpres No.30/2015, dan Perpres No.148/2015. Rujukan lain yang terkait dengan pengadaan lahan ini adalah Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, dan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pembebasan Lahan.

[11] Ihwal bagaimana dokumen LARAP disusun dan pihak mana saja yang terlibat, bisa dibaca dalam Panduan Praktis Penyusunan LARAP yang disusun oleh NSUP (Program KOTAKU).

[12] Mekanisme tercantum di Pasal 14 sampai dengan Pasal 39.

[13] Jauh sebelum bencana terjadi, warga memang telah berkali-kali memperjuangkan lahan tersebut. Bagi warga Duyu, misalnya, lahan konsesi yang dikuasai oleh PT Duta Dharma Bhakti adalah tanah ulayat, yang secara turun-temurun mereka jadikan sebagai padang penggembalaan (tanah mpevu). Warga mengistilahkan, “pemerintah memberi izin kepada perusahaan dan mengambil tanah mereka ketika mereka sedang lelap tidur.”

[14] Sejauh ini, kami baru menemukan satu berkas laporan PIM NSUP—CERC, periode September—November 2019. Dari laporan yang kami baca itu, dari 42 permintaan informasi dan penyampaian masalah yang dilaporkan, ada dua pengaduan warga yang menyangkut masalah pengadaan lahan: soal kompensasi lahan yang masuk di lokasi Duyu dan adanya tanah bersertifikat di lokasi Petobo. Sampai periode laporan itu dibuat, baru soal tanah bersertifikat di lokasi Petobo yang ditangani. Soal yang terkait dengan kompensasi lahan di Duyu dilaporkan masih dalam proses penanganan. Selain satu berkas laporan PIM ini, kami belum menemukan berkas untuk periode laporan lainnya.

[15] Program KOTAKU, misalnya, mengidentifkasi WTP ke dalam dua kategori umum: (1) orang yang terkena dampak pengadaan tanah milik pribadi; (2) orang yang terkena dampak yang tinggal di tanah pemerintah (tanah negara atau pemerintah daerah) tetapi tidak memiliki tanah yang ditempati. WTP kategori dua ini terbagi lagi menjadi empat: (a) warga yang memiliki dan menempati tempat tinggal dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah negara atau pemerintah tanpa bukti dasar hukum yang berlaku atau bukti klaim atas lahan yang mereka tempati; (b) penyewa dari tempat tinggal dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah negara atau pemerintah tanpa bukti dasar hukum yang berlaku atau bukti klaim atas lahan yang mereka tempati; (c) perambah, yaitu, orang yang memperbesar atau memperluas properti mereka dengan merambah tanah negara atau tanah pemerintah yang berdekatan; (d) tuan tanah ilegal, yaitu orang-orang yang menyewakan bangunan yang dibangun di atas tanah negara atau pemerintah, tetapi tidak menempati bangunan tersebut.

[16] Terkait dengan kompensasi, untuk Program KOTAKU, hanya WTP yang memenuhi syarat berikut yang berhak mendapatkan kompensasi atas aset yang terkena dampak proyek: (a) yang memiliki hak kepemilikan atas tanah; (b) yang hak pemanfaatan tanah; (c) yang memiliki “nadzir” untuk tanah hibah dari “wakaf”; (d) pemilik tanah yang sebelumnya merupakan tanah adat; (e) “masyarakat hukum adat” (masyarakat adat); (f) mereka yang menempati atau memanfaatkan tanah negara dengan niat/itikad baik; (g) mereka yang memegang kuasa atas tanah; dan/atau (h) mereka yang memiliki bangunan, tanaman tumbuh dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah.

[17] Keterlibatan warga, terutama warga terdampak proyek menjadi perhatian penting Bank Dunia dan menjadi salah satu aturan yang wajib untuk dipatuhi. Secara umum, hal itu tercantum di ESS 10; dan khusus untuk pengadaan lahan, pelibatan warga terdampak proyek tercantum di ESS 5. Jika warga terdampak proyek itu adalah bagian dari masyarakat hukum adat, aturan dan pedomannya tercantum di ESS 7.

[18] Mekanisme penentuan alokasi unit huntap dengan “cara mengundi” sebagaimana yang dilakukan untuk huntap Buddha Tzu Chi, dalam hemat kami, perlu dikoreksi. Pilihan “cara mengundi” tersebut akan sangat memungkinkan tidak mengakomodasi (bahkan mengabaikan) kepentingan warga kelompok rentan yang berkebutuhan khusus dan perlu diafirmasi. Berbagai kebijakan memandatkan tindakan afrmatif untuk kelompok rentan ini.

[19] Tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Palu Nomor 650/801/DPRP/2019, tertanggal 1 Oktober 2019.

[20] Ranperda RTRW Sulteng, kabarnya, masih dalam pembahasan. Adapun Ranperda RTRW Kota Palu saat ini masih menunggu persetujuan substansi dari Kementrian ATR/BPN, sebelum didaftarkan dan dibahas oleh DPRD Kota Palu.

[21] Bisa dibaca berita berikut ini: Walikota Palu: Tolong Jangan Ganggu Proses Pembangunan Huntap di Lahan Eks-HGB; dan berita ini: Setop ‘Ganggu’ Pembangunan Huntap, 7.097 KK ‘Terancam’ Terlantar. Merujuk pada berita itu, Walikota Palu menyarankan, warga yang merasa memiliki hak atas lahan tersebut agar menempuh jalur hukum. Dalam hemat kami, saran ini tidaklah akan menyelesaikan masalah secara efektif. Jika kemudian ada warga yang menempuh jalur hukum, prosesnya akan panjang. Selama proses hukum berlangsung, pelaksanaan pembangunan huntap pun akan terkatung-katung. Saran itu boleh jadi didasarkan atas alasan, warga berada di pihak yang lemah karena tidak memiliki bukti-bukti (administratif) sebagai alas hak, yang oleh karenanya pasti akan kalah kalau menempuh jalur hukum. Namun, lagi-lagi menurut hemat kami, bukan itu substansinya. Boleh jadi benar, warga tidak memiliki bukti kepemilikan secara administratif. Warga hanya bisa mengajukan klaim atas dasar ingatan historis dan kolektif. Namun, pengajuan klaim atas dasar ingatan historis dan kolektif itupun sesungguhnya layak untuk dipertimbangkan. Terlebih, serifikat HGB diterbitkan pada masa Orde Baru. Berkaca pada banyak kasus, penerbitan sertifikat HGB maupun HGU di masa Orde Baru, seringkali mengabaikan banyak hal, di antaranya melakukan praktik perampasan lahan, bahkan dengan kekerasan. Selain itu, jika menengok berbagai upaya yang telah dilakukan warga, mereka memang sudah memperjuangkan hak atas lahan itu dari sejak lama, jauh sebelum bencana terjadi dan lahan itu ditetapkan sebagai lokasi untuk huntap. Terkait lahan eks-HGB di Talise, Walikota Palu Rusdy Mastura bahkan pernah menerbitkan SK Nomor 310/145/ADPUM/2013 tentang penerima tanah untuk kegiatan sertifikasi tanah dalam program penanggulangan kemiskinan Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Kabar terbaru, 13 warga yang menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kembali lahan mereka di Kelurahan Tondo yang berada di lokasi pembangunan huntap, gugatannya dikabulkan sebagian oleh PTUN. Pihak ATR/BPN mengajukan banding atas putusan PTUN itu. Beritanya bisa dibaca di tautan berikut: https://monitoring.skp-ham.org/ptun-kabulkan-gugatan-warga-lokasi-huntap-tondo-bermasalah/

____________________________________________

 

Sengkarut Penyusunan Rencana Aksi RelokasiLaporan file PDF silahkan unduh di sini.

Tinggalkan Komentar